CUPITEBET: Aqidah

JADIKAN RASULULLAH SAW SEBAGAI IDOLA

ads

Hot

Post Top Ad

Tampilkan postingan dengan label Aqidah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Aqidah. Tampilkan semua postingan

Kamis, 21 Mei 2015

Rotib Haddad Amalan Nusantara

03.46.00 0
Rotib Haddad Amalan Nusantara
Akhir zaman menuntut kita untuk semakin berhati-hati dalam urusan agama. Sudah tidak ada lagi sensor dalam fatwa. Semuanya bebas berfatwa dan berpendapat, tanpa menyadari bahwa semua ucapannya terlebih lagi fatwanya akan dimintai pertanggung jawaban oleh Allah.
Tak perlu menyerang sana dan sini dengan membabi buta, akan tetapi tunjukkanlah Islam yang santun seperti konsep rohmatan lil 'alamin yang Nabi ajarkan. Bukan rohmatan lil 'alamin yang melegalkan kemaksiatan dan aliran sesat.
Ketika ada yang mencaci surban dan jubah, ternyata itulah pakaian yang dipilih oleh KH Hasyim Asy'ari , Pangeran Diponegoro , dll yang tentunya lebih berjasa untuk nusantara dibanding yang mencaci.
Ketika ada yang mengajak untuk meninggalkan simtudduror dan ratib haddad, ternyata itulah amalan ulama kita. Al Habib Muhammmad Luthfi bin Ali bin Yahya dalam majelis beliau selalu membaca maulid simtudduror, begitu juga Habib Syekh bin Abdul Qodir Assegaf bahkan pondok Sidogiri dan pondok-pondok yang lain sudah sejak dahulu kala membaca maulid simtudduror.
Kyai Ahmad Dahlan pun juga membaca ratib haddad dalam kesehariannya. Berikut ini adalah foto yang diambil di stand pameran Lirboyo, berupa sebuah kertas yang berisi ijazah dari Syaikhona Kholil Bangkalan kepada Kyai Manaf 114 tahun yang lalu untuk selalu mengamalkan Ratib Haddad.
Read More

Selasa, 21 April 2015

INDAHNYA PERBEDAAN PENDAPAT PADA MASA DAHULU

03.20.00

INDAHNYA PERBEDAAN PENDAPAT PADA MASA DAHULU

Beginilah 4 Imam (yang berlainan Madzhab) Ketika Berada Dalam Satu Waktu Sholat di Masjidil Harom <<
[FOTO]: Ka'bah di tahun 1320 H (sekitar tahun 1903 M), masih terlihat disekitar ka'bah terdapat pondokan-pondokan kecil. Disitulah maqom (kedudukan) yang disediakan bagi para imam madzhab masing-masing berdiri mengetuai sholat jama'ah di kalangan pengikutnya.
Dahulu, sholat berjama'ah di Masjidil Harom bukannya berimam pada satu imam seperti sekarang ini, melainkan sebanyak 4 imam berlainan madzhab. Setiap orang akan sholat mengikuti imam sesuai dengan pegangan (madzhab) fiqih masing-masing.
=======================================
Read More

Kamis, 21 Februari 2013

Kisah Kemuliaan Guru Mulia al-Habib Umar bin Hafidz

03.31.00
Berikut adalah pengalaman al-Habib Ahmad bin Muhammad al-Kaf yang tak terlupakan tentang Kisah Kemuliaan Guru Mulia al-Habib Umar bin Hafidz. Beliau menuturkan: “Waktu itu pertengahan April 1994 musim dingin di Tarim Hadhramaut mulai menyapa kami yang memang kami belum terbiasa dengan dinginnya cuaca Tarim ketika musim dingin. Al-Habib Umar pun telah menyiapkan untuk kami, para santrinya dari Indonesia yang waktu itu sangatlah manja, sebuah selimut tebal yang mahal. Masing-masing dari kami mendapatkan satu selimut. Kisah pun bermula seperti biasa selepas Ashar kami dan al-Habib Umar menuju kota Tarim untuk menghadiri rauhah dan maulid di kota tersebut. Selepas acara kami pun kembali ke kediaman al-Habib Umar di kota Aidid. Biasanya kami pulang larut malam. Dan karena pada waktu itu al-Habib Umar hanya memiliki satu mobil maka kami pun selalu berebutan untuk menaiki mobil tersebut.
Read More

Selasa, 13 Maret 2012

#IndonesiaTanpaJIL Melawan JIL ala Habib Munzir

04.25.00


Pertanyaan: Assalamualaikum
semoga dirimu diberi kesehatan dan keberrkahan selalu guruku yang mulia,
Saya mahasiswa UIN Jakarta, Bib,
saya mohon di kuatkan imtak saya, karena berbagai aliran sesat berkembang disana dan Islam liberal sangat pesat!!! saya takut terjebak dalam lingkup tersebut, apa yang harus saya lakukan?? teman-teman saya telah terjebak didalamnya? bagai,ama menyadarkannya???
Read More

Rabu, 19 Oktober 2011

Al Habib Ahmad bin Ali Assegaf (Majelis Ta'lim Annurl Kassyaf)

00.22.00
Nasab beliau : al habib ahmad bin ali bin abdurrohman bin ahmad bin abdulqadir bin ali bin umar bin muhammad assegaf bin umar bin thoha bin umar ashofi bin abdurrohman bin muhammad bin ali bin abdurrohman assegaf bin muhammad mauladawilah bin ali bin alwi bin muhammad alfaqih muqadam bin ali bin muhammad shahib marbad bin ali khala ghazam bin alwi bin muhammad bin alwi alawiyah bin ubaidilah bin ahmad al muhajir bin isa arrumi bin muhammad an-nagieb bin ali uraidhi bin ja'far shadiq muhammad al-bagir bin ali zainal abidin bin al imam husein bin ali bin abi thalib karamalloh wajha bin fatimah azzahro binti MUHAMMAD SAW . Habib Ahmad bin Ali Assegaf adalah pribadi yang hangat, ramah,
Read More

Minggu, 13 Februari 2011

Maulid menurut Rasulullah SAW, Sahabat Ra, dan para Imam dan Muhadist

20.21.00
Oleh Habib Munzir bin Fuad Al Musawa (judul PERINGATAN MAULID NABI SAW di buku Kenalilah Akidahmu 2)

Ketika kita membaca kalimat di atas maka di dalam hati kita sudah tersirat bahwa kalimat
ini akan langsung membuat alergi bagi sebagian kelompok muslimin, saya akan meringkas
penjelasannya secara ‘Aqlan wa syar’an, (logika dan syariah).
Sifat manusia cenderung merayakan sesuatu yang membuat mereka gembira, apakah
keberhasilan, kemenangan, kekayaan atau lainnya, mereka merayakannya dengan pesta,
mabuk - mabukkan, berjoget bersama, wayang, lenong atau bentuk pelampiasan kegembiraan
lainnya, demikian adat istiadat di seluruh dunia.
Sampai disini saya jelaskan dulu bagaimana kegembiraan atas kelahiran Rasul saw.
Allah merayakan hari kelahiran para Nabi Nya
Read More

Jumat, 30 Juli 2010

23.44.00
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ الصَّدَقَةِ أَعْظَمُ أَجْرًا قَالَ أَنْ تَصَدَّقَ وَأَنْتَ صَحِيحٌ شَحِيحٌ تَخْشَى الْفَقْرَ وَتَأْمُلُ الْغِنَى وَلَا تُمْهِلُ حَتَّى إِذَا بَلَغَتْ الْحُلْقُومَ قُلْتَ لِفُلَانٍ كَذَا وَلِفُلَانٍ كَذَا وَقَدْ كَانَ لِفُلَانٍ

( صحيح البخاري )

Datang seseorang (Abu Dzarr ra) kepada Nabi saw dan bertanya :
“wahai Rasulullah, sedekah yang seperti apa yang paling besar pahalanya?”,
Sabda Rasulullah saw : “Yaitu Kau bersedekah sedangkan kau dalam keadaan sangat menjaga hartamu, sedang berhemat, sedang takut miskin, sedang ingin kaya dan berkecukupan, maka jangan kau tunda (menahan sedekah jika sedang demikian itu), hingga jika sudah sampai di akhir nafasmu di tenggorokanmu (disaat kematian) baru kau katakan hartaku untuk si fulan sekian, untuk si fulan sekian (saat itu sedekah sangat kecil pahalanya) (Shahih Bukhari)


Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

حَمْدًا لِرَبٍّ خَصَّنَا بِمُحَمَّدٍ وَأَنْقَذَنَا مِنْ ظُلْمَةِ الْجَهْلِ وَالدَّيَاجِرِ اَلْحَمْدُلِلّهِ الَّذِيْ هَدَاناَ بِعَبْدِهِ الْمُخْتَارِ مَنْ دَعَانَا إِلَيْهِ بِاْلإِذْنِ وَقَدْ ناَدَانَا لَبَّيْكَ ياَ مَنْ دَلَّنَا وَحَدَانَا صَلَّى اللهُ وَسَلّمَّ وَبَارَكَ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ اَلْحَمْدُلِلّهِ الَّذِيْ جَمَعَنَا فِي هَذَا الْمَجْمَعِ اْلكَرِيْمِ وَفِيْ هَذَا الْجَمْعِ اْلعَظِيْمِ

Limpahan puji kehadirat Allah subhanahu wata'ala yang Maha luhur, yang Maha membuka gerbang gerbang keluhuran, yang demikian berpijar
Read More

Rabu, 07 Juli 2010

Hadist Dho’if dan hadis “Janganlah kamu menulis hadits, Tuliskanlah Alqur’an”

21.20.00
Hadist Dho’if dan hadis “Janganlah kamu menulis hadits, Tuliskanlah Alqur’an”

Sebagian dari kaum muslimin mendudukan hadist dho’if seperti halnya hadist maudhu’ atau buatan lantas bagaimana kedudukan hadist itu sendiri dalam hukum islam dan bagaimana kita menyikapi hadist dho’if itu?

Jawab:

Hadits dho’if tidaklah sama dengan hadits maudhu’. Hadits dho’if adalah hadits yang bersumber dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, bukan hadits yang dikarang-karang atau yang dibuat-buat oleh sembarang manusia. Hanya saja salah satu pemangkunya (sanadnya) ada yang terputus sehingga hadits itu menjadi dhoif, tapi tetap saja hadits dhoif bukan hadits palsu!
Read More

Kamis, 01 Juli 2010

Nabi saw Mi'raj Ke Langit

02.16.00
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم:
لَمَّا عُرِجَ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، إِلَى السَّمَاءِ، قَالَ رسول صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَتَيْتُ عَلَى نَهَرٍ، حَافَتَاهُ قِبَابُ اللُّؤْلُؤِ، مُجَوَّفًا فَقُلْتُ مَا هَذَا يَا جِبْرِيلُ..؟، قَالَ هَذَا الْكَوْثَرُ

( صحيح البخاري )

Dari Anas ra berkata :
" Ketika nabi saw diangkat untuk Mikraj ke Langit, bersabda Rasulullah saw : aku telah mengunjungi sebuah sungai, yg dikelililingi kubah kubah Mutiara yg berongga rongga” ". ( Shahih Al Bukhari )


Read More

Senin, 07 Juni 2010

Shalat Rasulullah Yang Terakhir Sebelum Wafat

20.26.00
أَنَّ رَسُولَ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ قَالَ : صَلَّى بِنَا، النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعِشَاءَ، فِي آخِرِ حَيَاتِهِ، فَلَمَّا سَلَّمَ، قَامَ فَقَالَ أَرَأَيْتَكُمْ لَيْلَتَكُمْ هَذِهِ، فَإِنَّ رَأْسَ مِائَةِ سَنَةٍ مِنْهَا، لَا يَبْقَى مِمَّنْ هُوَ عَلَى ظَهْرِ الْأَرْضِ أَحَدٌ

(صحيح البخاري)

Sungguh Abdullah bin Umar ra berkata :
Nabi saw mengimami kami shalat Isya yang terakhir dalam hidup beliau saw, ketika selesai shalat, beliau saw berdiri dan bersabda: “Kalian lihatkan malam kalian ini?, maka sungguh 100 tahun yang akan datang, tak tersisa satupun di daratan bumi” (Shahih Bukhari)


Read More

Kamis, 21 Januari 2010

Sejarah Solawat Badar

00.35.00
Sejarah Sholawat Badr

Shalatullah salamullah ala toha rasulillah
Shalatullah salamullah ala yasin habibillah…


Hampir bisa dipastikan semua orang Nahdlatul Ulama kenal dengan shalawat ini – Shalawat Badar. Shalawat ini adalah shalawat yang banyak sekali faedahnya, menjadi sumber kekuatan dan pertolongan dan wasilah kepada Rasulullah SAW. Tetapi tak banyak yang tahu bahwa shalawat ini diilhamkan kepada seorang Kyai asli Indonesia dari NU, yakni Kyai Ali Mansur, yang semasa hidupnya menjabat sebagai pengurus NU Banyuwangi, Jatim.

Read More

Senin, 11 Januari 2010

Sejuta Pemuda Putihkan Jakarta Bersama Guru Mulia

03.02.00
Kontributor: Rahadian (www.majelisrasulullah.org)
Sunday, 10 January 2010


Dua perhelatan spektakuler digelar secara marathon oleh Majelis Shalawat dan Dzikir pemuda terbesar di Jakarta yaitu Majelis Rasulullah SAW. Sebuah Majelis yang sangat aktif membina para pemuda untuk selalu mengedepankan kedamaian dan keluhuran dalam setiap aktifitasnya. Dan sudah seringkali membuat acara-acara Dzikir dan Shalawat Akbar bukan hanya di seantero wilayah Jabodetabek bahkan hingga jauh ke pelosok kota luar Jabodetabek.
Read More

Jumat, 30 Oktober 2009

Berpindah-pindah Madzhab?Bolehkah?

20.31.00 0



As Salamu 'alaikum wr. wb.,

Sudah menjadi issue masalah berpindah-pindah Madzhab dlm fiqih sering menjadi perdebatan. Sering dikatakan Talfiq. Dan sering ditentang. Apakah Talfiq sama dengan berpindah-pindah madzhab? Apakah berpindah-pindah madzhab boleh?

Sebenarnya apa dan bagaimana Talfiq, mengapa ditentang?

Artikel berikut ini memberikan penambahan wawasan dlm kajian fiqih yg telah dirumuskan oleh para fuqoha. Artikel ini dinukil dari Taudhihul Adillah, kompilasi 100 tanya-jawab masalah agama, karya ulama besar Betawi, alm. Mu'allim KH M Syafi'i Hadzami.

Intinya boleh berpindah-pindah madzhab, tapi jangan dlm 1 topik/masalah apalagi penggabungan tsb bersifat kontradiktif.

Hanya saja, banyak saudara-saudara kita, terutama di kalangan Nahdhiyyin dan yg sepemahaman.....cenderung tidak ingin berpindah-pindah atau menggabung-gabungkan madzhab dlm fiqih, karena kehati-hatian, juga sebagai adab penghormatan thd para pemuka madzhab, serta untuk mencari barokah.

Dan ini masuk akal sekali, mengingat para pemuka madzhab yg merumuskan madzhab/methodologi tsb mempunyai kapasitas yg luar biasa dlm keilmuan keagamaan, dan mempunyai pengetahuan yg komprehensif, serta mereka adalah generasi yg terdekat dgn para salafus-sholih (generasi sahabat, tabi'in, dan tabi'ut-tabi'in).

Berbeda dengan saudara-saudara kita yg lain, terutama di kalangan Muhammadiyah, Persis, dll...cenderung melakukan tarjih - mencari yg paling baik/kuat/utama dari beberapa pendapat..mencari dalil yg terunggul. Karena diutamakan mencari dan melakukan yg terbaik, yg paling utama, yg paling unggul. Terlebih bila ada kemampuan utk mewujudkan hal tsb.

Dan tarjih tsb pun umumnya dilakukan oleh mereka yg punya kompetensi ('alim 'ulama, fuqoha), bukan macam orang awam seperti kita. Serta juga mereka menyadari bahwa jangan sampai terjadi kontradiksi atau ketidaksesuaian antar pendapat (fatwa) mereka, terutama thd masalah yg saling terkait (misal: sholat dan thoharoh, lebih spesifik antara berwudhu dan topik terkait hadats plus najis dsb).

Semoga menambah wawasan. Dan semoga mendewasakan kita, sehingga kita tidak larut dlm perdebatan yg sia-sia terkait masalah furu'iyyah. Semoga bisa meningkatkan husnudz-Dzhoon kita thd yg berbeda pendapat.

Walloohu A'lam bis-showab.
Astaghfirullooh lii wa lakum.

Wassalam,




Nugon

(notes utk moderator milis mualafindonesia, jika topik ini dianggap boleh dikonsumsi mualaf, mohon diposting ke milis)

Kebanyakan sumber permasalahan adalah cara berkomunikasi!!!

http://nugon19.blogs.friendster.com/my_blog/
http://nugon19.multiply.com/journal
SocialTwist Tell-a-Friend


















Your Ad Here






Read More

Senin, 01 Juni 2009

Menjawab Fitnah Agama Wahhaby Terhadap Blog Salafytobat (I-a)

20.17.00 0

Kini sekte sesat wahhaby, penyebar ajaran bid'ah "anti madzab" tidak henti-hentinya menghancurkan sendi-sendi agama. Mereka tidak heni-hentinya menyesatkan dan mengkafirkan amalan moyoritas muslim ahlusunnah (sunni). Tidak heran sehingga munculah ulama-ulama dan da'i yang mencoba membongkar kesesatan mereka, tapi ulama-ulama dan da'i-da'i yang haq ini terus mendapat tantangan dan fitnah dari sekte wahhaby yang mengaku-ngaku sebagai "salafy/darul hadits".

Pada tulisan ini kami akan membantah fitnah wahhaby terhadap blog ahlusunnahwww.salafytobat.wordpress.com.

I. Wahhaby katakan bahwa : "Tidak dalil (hadits) adanya ilmu laduni".

Jawaban :

Semua ilmu adalah dari Allah Swt., makhluq tidak akan memperoleh atau memiliki ilmu kalau tidak diberi oleh Allah SWT oleh karena itu hakikat semua ilmu adalah pemberian khusus dari Allah SWT, jadi semua ilmu adalah laduni/mauhub/pemberian khusus dari Allah Swt..

Melalui al-quran dan Sunnah Nabi Muhammad Saw. asbab untuk mendapatkan ilmu bermacam-macam, yang paling utama ialah belajar. Belajar dengan ilmu agama hukumnya wajib sebagaimana dalam banyak diterangkan dalam hadits shahih dan ayat –ayat alqur'an. Selain dengan asbab "belajar", Allah juga berkuasa untuk memberikan ilmu tanpa belajar! Tapi dengan asbab yang lain.

A. Dalil-dalil ayat Al-qur'an tentang ilmu laduni/mauhub

1. "Dan Takutlah kepada Allah niscaya Allah akan mengajari kalian" (Qs. Al baqarah ayat 282)

2. "Dan orang-orang yang berjuang di jalan kami (berjihad dan mendakwahkan agama) maka akan kami tunjukan kepada mereka jalan-jalan kami (jalan-jalan petunjuk). Dan sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang ihsan (muhsinin) (QS Al'ankabut [69] ayat 69).

3. "Katakanlah (hai Muhammad Saw.) Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan" (QS Thaha [10] ayat 113).

4. "Dan kami ilhamkan kepada ibu Musa; "Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari para rasul. "(QS. Al-qashash [28], ayat 7).

5. "Dan kami telah ajarkan kepadanya (Nabi khidhir) dari sisi Kami suatu ilmu". (Al Kahfi: 65).

B. Hadits-hadits tentang ilmu mauhub/laduni

1. Hadits Bukhari -Muslim :

"Dahulu ada beberapa orang dari umat-umat sebelum kamu yang diberi ilham. Kalaulah ada satu orang dari umatku yang diberi ilham pastilah orang itu Umar."(Muttafaqun 'alaihi)

2. Hadits At Tirmidzi :

"Ini bukan bisikan-bisikan syaithan, tapi ilmu laduni ini merubah firasat seorang mukmin, bukankah firasat seorang mukmin itu benar? Sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam: "Hati-hati terhadap firasat seorang mukmin. Karena dengannya ia melihat cahaya Allah". (H.R At Tirmidzi).

3. Hadits riwayat Ali bin Abi Thalib Ra:

"Ilmu batin merupakan salah satu rahasia Allah 'Azza wa Jalla, dan salah satu dari hukum-hukum-Nya yang Allah masukkan kedalam hati hamba-hamba-Nya yang dikehendaki-Nya".

4. Hadits riwayat Abu Dawud dan Abu Nu'man dalam kitab Al-Hilyah :

Nabi Muhammad Saw. bersabda yang maksudnya : "Barangsiapa mengikhlashkan dirinya kepada Allah (dalam beribadah) selama 40 hari maka akan zhahir sumber-sumber hikmah daripada hati melalui lidahnya". (HR. Abu Dawud dan Abu Nu'man dalam alhilyah).

5. Dalam kitab syarah al-hikam

Nabi SAW bersabda :" Barangsiapa Yang Mengamalkan Ilmu Yang Ia Ketahui Maka Allah Akan Memberikan Kepadanya Ilmu Yang Belum Ia Ketahui".

6. Dalam hadits majmu (Himpunan) hadist qudsy

Allah berfirman kepada Isa: "Aku akan mengirimkan satu umat setelahmu (ummat Muhammad Saw.), yang jika Aku murah hati pada mereka, mereka bersyukur dan bertahmid, dan jika Aku menahan diri, mereka sabar dan tawakaltanpa [harus] mempunyai hilm (kemurahan hati) dan 'ilm [1]." Isa bertanya: "Bagaimana mereka bisa seperti itu ya Allah, tanpa hilm dan 'ilm?" Allah menjawab: "Aku memberikan mereka sebagian dari hilmKu dan 'ilmKu."

7. Dalam hadits qudsy (Kitab Futuh Mishr wa Akhbaruha, Ibn 'Abd al-Hakam wafat 257 H).

Allah mewahyukan kepada Isa As. untuk mengirimkan pendakwah ke para raja di dunia. Dia mengirimkan para muridnya. Murid-muridnya yang dikirim ke wilayah yang dekat menyanggupinya, tetapi yang dikirim ke tempat yang jauh berkeberatan untuk pergi dan berkata: "Saya tidak bisa berbicara dalam bahasa dari penduduk yang engkau mengirimkan aku kepadanya." Isa As. berkata: "Ya Allah, aku telah memerintahkan murid-muridku apa yang Kau perintahkan, tetapi mereka tidak menurut." Allah berfirman kepada Isa: "Aku akan mengatasi masalahmu ini." Maka Allah membuat para murid Isa bisa berbicara dalam bahasa tempat tujuan mereka diutus

C. Cara mendapatkan ilmu dari Allah Swt.

Adapun asbab diberikannya ilmu /kefahaman oleh Allah adalah :

1. Belajar

Termasuk bertanya dengan para ulama. Hendaknya belajar dengan guru mursyid yang menjaga dzikir dan sunnah Nabi Muhammad SAW.

2. Takut Kepada Allah

kitab alhikam, syaikh ibnu athoillah alasykandary (kepala madrasah alazhar-asyarif abad 7 hijriah) menyebutkan nukilan ayat dari alqur'anulkarim :

"wataqullaha wayu'alimukumullah"

artinya : "Dan Takutlah kepada Allah niscaya Allah akan mengajari kalian"(Qs. Al baqarah ayat 282)

3. Mengamalkan ilmu yang diketahui

Sebuah hadits dalam syarah kitab Al-hikam menyebutkan bahwa nabi muhammad saw bersabda :

"man 'amila bimaa 'alima waratshullahu 'ilma maa lam ya'lam"

Artinya : Nabi SAW bersabda :" Barangsiapa Yang Mengamalkan Ilmu Yang Ia Ketahui Maka Allah Akan Memberikan Kepadanya Ilmu Yang Belum Ia Ketahui".

Dalam hadis qudsi, Nabi Isa as. Juga bersabda:

"Isa As. berkata: "Buat kalian tidak ada gunanya mendapat ilmu yang belum kalian ketahui, selama kalian tidak beramal dengan ilmu yang telah kalian ketahui. Terlalu banyak ilmu hanya menumbuhkan kesombongan kalau kalian tidak beramal sesuai dengannya." [ Diriwayatkan oleh (Abu 'Abdallah Ahmad bin Muhammad al-Syaibani) Ibn Hanbal (... – 241 H), Kitab al-Zuhd, 327. Dan (Abu Hamid Muhammad bin Muhammad) Al-Ghazali (... - 505 H), Ihya' 'Ulum al-Din, 1:69-70].

4. Tidak Mencintai Dunia

'alammah suyuti rah. berkata :"kamu menganggap bahwa ilmu mauhub adalah diluar kemampuan manusia. Namun hakikatnya bukanlah demikian, bahkan cara untuk menghasilkan ilmu ini adalah dengan beberapa asbab. Melalui ini Allah swt. telah menjanjikan ilmu tersebut. Asbab-asbab itu adalah seperti : beramal dengan ilmu yang diketahui, tidak mencintai dunia dan lain-lain…."

Sebagaimana dalam sebuah hadits, bahwa Nabi SAW bersabda yang artinya : "Barang siapa yang zuhud pada dunia (tidak cinta dunia), maka akan Allah berikan kepadanya ilmu tanpa Belajar" (Fadhilatusshadaqat). Cinta dunia adalah penyakit yang akan menghijab masuknya ilmu ke dalam hati. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw. :

"Hubbudun-ya ra'su 'alu kulli khati'ah"

artinya : Cinta dunia adalah induk dari segala keburukan (perbuatan dosa).

5. Berdoa

Semua itu datang bagi Allah, maka Rasulullah mencontohkan kepada kita agar senantiasa berdoa agar diberikan ilmu dan hidayah dari Allah swt. , sebagaimana dalam al-qur'an disebutkan :

"Wa qul rabbi zidnii ilma"

Artinya : Allah Swt. Berfirman : "Katakanlah (hai Muhammad Saw.) Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan" (QS Thaha [10] ayat 113)

6. Berdakwah

Jika kita berdakwah (amr bil ma'ruf wa nahya 'anil munkar) atau mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran maka Allah akan berikan kepada kita 'ilm wa hilm ('ilmu dan kelembutan hati) langsung dari qudrat Allah swt. Sebagaimana Dalam surat al-'ankabut ayat terakhir :

"Dan orang-orang yang berjuang di jalan kami (berjihad dan mendakwahkan agama) maka akan kami tunjukan kepada mereka jalan-jalan kami. Dan sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang ihsan (muhsinin) (QS Al'ankabut [69] ayat 69).

Lafadz " subulana" atau "jalan-jalan kami" bermakna juga "jalan-jalan petunjuk dari Allah" atau "jalan-jalan hidayah (ilmu-ilmu islam yang haq)".

Sebagaimana juga dalam hadits qudsi (kurang lebih maknanya) tatkala Allah menceritakan keutamaan umat akhir zaman kepada Nabi isa as., mereka memakai sarung pada perut-perut mereka, jika mereka berjalan di tanah rata mereka berdzikir "alhamdulillah", ditanah yang menanjak mereka berdzikir "allahuakbar" ,jika berjalan ditanah yang menurun mereka berdzikir "subhanallah" dan mereka mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran (berdakwah) , padahal mereka tidak ada hilm dan 'ilm.

maka Nabi isa as. bertanya : "Bagaimana mereka akan berdakwah padahal mereka tidak punya hilm(kelembutan hati) dan 'ilm?

Maka Allah firmankan :"Aku sendiri yang akan memberikan kepada mereka ilm dan hilm"

Dalam riwayat yang lain disebutkan :

Allah berfirman kepada Isa As. : "Aku akan mengirimkan satu umat setelahmu (ummat Muhammad Saw.), yang jika Aku murah hati pada mereka, mereka bersyukur dan bertahmid, dan jika Aku menahan diri, mereka sabar dan tawakal tanpa [harus] mempunyai hilm (kemurahan hati) dan 'ilm ." Isa bertanya: "Bagaimana mereka bisa seperti itu ya Allah, tanpa hilm dan 'ilm?" Allah menjawab: "Aku memberikan mereka sebagian dari hilmKu dan 'ilmKu." [Ucapan Nabi Isa as dalam kisah-kisah literature umat islam, Tarif Khalidi]

Mengenai kisah dakwah kaum hawariyyin (pengikut Nabi Isa as.) :

- Allah mewahyukan kepada Isa As. untuk mengirimkan pendakwah ke para raja di dunia. Dia mengirimkan para muridnya. Murid-muridnya yang dikirim ke wilayah yang dekat menyanggupinya, tetapi yang dikirim ke tempat yang jauh berkeberatan untuk pergi dan berkata: "Saya tidak bisa berbicara dalam bahasa dari penduduk yang engkau mengirimkan aku kepadanya." Isa berkata: "Ya Allah, aku telah memerintahkan murid-muridku apa yang Kau perintahkan, tetapi mereka tidak menurut." Allah berfirman kepada Isa: "Aku akan mengatasi masalahmu ini." Maka Allah membuat para murid Isa bisa berbicara dalam bahasa tempat tujuan mereka diutus. (Kitab Futuh Mishr wa Akhbaruha, Ibn 'Abd al-Hakam wafat 257 H).

http://salafytobat.wordpress.com/2008/09/09/menjawab-fitnah-wahaby-1-ilmu-laduni-ilmu-mauhub/

II. Wahhaby katakan bahwa "Boleh mensifati Allah dengan sifat makhluq yaitu "sifat bertempat/memerlukan tempat/bersemayam/istiqrar"

Jawaban :

Allah Tanpa Tempat dan Arah

Allah ta'ala berfirman: "Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya (baik dari satu segi maupun semua segi), dan tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya". (Q.S. as-Syura: 11)

Ayat ini adalah ayat yang paling jelas dalam al Qur'an yang menjelaskan bahwa Allah sama sekali tidak menyerupai makhluk-Nya. Ulama Ahlussunnah menyatakan bahwa alam (makhluk Allah) terbagi atas dua bagian; yaitu benda dan sifat benda. Kemudian benda terbagi menjadi dua, yaitu benda yang tidak dapat terbagi lagi karena telah mencapai batas terkecil (para ulama menyebutnya dengan al Jawhar al Fard), dan benda yang dapat terbagi menjadi bagian-bagian (jisim).

Benda yang terakhir ini terbagi menjadi dua macam;

1. 1. Benda Lathif: sesuatu yang tidak dapat dipegang oleh tangan, seperti cahaya, kegelapan, ruh, angin dan sebagainya.

2. 2. Benda Katsif: sesuatu yang dapat dipegang oleh tangan seperti manusia, tanah, benda-benda padat dan lain sebagainya.

Adapun sifat-sifat benda adalah seperti bergerak, diam, berubah, bersemayam, berada di tempat dan arah, duduk, turun, naik dan sebagainya. Ayat di atas menjelaskan kepada kita bahwa Allah ta'ala tidak menyerupai makhluk-Nya, bukan merupakan al Jawhar al Fard, juga bukan benda Lathif atau benda Katsif. Dan Dia tidak boleh disifati dengan apapun dari sifat-sifat benda. Ayat tersebut cukup untuk dijadikan sebagai dalil bahwa Allah ada tanpa tempat dan arah. Karena seandainya Allah mempunyai tempat dan arah, maka akan banyak yang serupa dengan-Nya. Karena dengan demikian berarti ia memiliki dimensi (panjang, lebar dan kedalaman). Sedangkan sesuatu yang demikian, maka ia adalah makhluk yang membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam dimensi tersebut.

Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam bersabda: "Allah ada pada azal (keberadaan tanpa permulaan) dan belum ada sesuatupun selain-Nya". (H.R. al Bukhari, al Bayhaqi dan Ibn al Jarud).

Makna hadits ini bahwa Allah ada pada azal (keberadaan tanpa permulaan), tidak ada sesuatu (selain-Nya) bersama-Nya. Pada azal belum ada angin, cahaya, kegelapan, 'Arsy, langit, manusia, jin, malaikat, waktu, tempat dan arah. Maka berarti Allah ada sebelum

terciptanya tempat dan arah, maka Ia tidak membutuhkan kepada keduanya dan Ia tidak berubah dari semula, yakni tetap ada tanpa tempat dan arah, karena berubah adalah ciri dari sesuatu yang baru (makhluk).

Al Imam Abu Hanifah dalam kitabnya al Fiqh al Absath berkata:

"Allah ta'ala ada pada azal (keberadaan tanpa permulaan) dan belum ada tempat, Dia ada sebelum menciptakan makhluk, Dia ada dan belum ada tempat, makhluk dan sesuatu dan Dia pencipta segala sesuatu".

Al Imam Fakhruddin ibn 'Asakir (W. 620 H) dalam risalah aqidahnya mengatakan : "Allah ada sebelum ciptaan, tidak ada bagi-Nya sebelum dan sesudah, atas dan bawah, kanan dan kiri, depan dan belakang, keseluruhan dan bagian-bagian, tidak boleh dikatakan "Kapan ada-Nya ?", "Di mana Dia ?" atau "Bagaimana Dia ?", Dia ada tanpa tempat".

Maka sebagaimana dapat diterima oleh akal, adanya Allah tanpa tempat dan arah sebelum terciptanya tempat dan arah, begitu pula akal akan menerima wujud-Nya tanpa tempat dan arah setelah terciptanya tempat dan arah. Hal ini bukanlah penafian atas adanya Allah.

Al Imam al Bayhaqi (W. 458 H) dalam kitabnya al Asma wa ash-Shifat, hlm. 506, mengatakan: "Sebagian sahabat kami dalam menafikan tempat bagi Allah mengambil dalil dari sabda Rasulullah shalllallahu 'alayhi wa sallam:

Maknanya: "Engkau azh-Zhahir (yang segala sesuatu menunjukkan akan ada-Nya), tidak ada sesuatu di atas-Mu dan Engkaulah al Bathin (yang tidak dapat dibayangkan) tidak ada sesuatu di bawah-Mu" (H.R. Muslim dan lainnya).



Jika tidak ada sesuatu di atas-Nya dan tidak ada sesuatu di bawah-Nya berarti Dia tidak bertempat".

Hadits Jariyah

Sedangkan salah satu riwayat hadits Jariyah yang zhahirnya member persangkaan bahwa Allah ada di langit, maka hadits tersebut tidak boleh diambil secara zhahirnya, tetapi harus ditakwil dengan makna yang sesuai dengan sifat-sifat Allah, jadi maknanya adalah Dzat yang

sangat tinggi derajat-Nya sebagaimana dikatakan oleh ulama Ahlussunnah Wal Jama'ah, di antaranya adalah al Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim. Sementara riwayat hadits Jariyah yang maknanya shahih adalah:

Al Imam Malik dan al Imam Ahmad meriwayatkan bahwasanya salah seorang sahabat Anshar datang kepada Rasulullah Shallallahu 'alayhi wasallam dengan membawa seorang hamba

sahaya berkulit hitam, dan berkata: "Wahai Rasulullah sesungguhnya saya mempunyai kewajiban memerdekakan seorang hamba sahaya yang mukmin, jika engkau menyatakan bahwa hamba sahaya ini mukminah maka aku akan memerdekakannya, kemudian Rasulullah berkata kepadanya:Apakah engkau bersaksi tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah?Ia (budak) menjawab: "Ya", Rasulullah berkata kepadanya: Apakah engkau bersaksi bahwa saya adalah Rasul (utusan) Allah? Ia menjawab: "Ya", kemudian Rasulullah berkata: Apakah engkau beriman terhadap hari kebangkitan setelah kematian? ia menjawab : "Ya", kemudian Rasulullah berkata: Merdekakanlah dia".

Al Hafizh al Haytsami (W. 807 H) dalam kitabnya Majma' az-Zawa-id Juz I, hal. 23 mengatakan: "Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan perawi-perawinya adalah perawi-perawi shahih". Riwayat inilah yang sesuai dengan prinsip-prinsip dan dasar ajaran Islam, karena di antara dasar-dasar Islam bahwa orang yang hendak masuk Islam maka ia harus mengucapkan dua kalimat syahadat, bukan yang lain.

Tidak Boleh dikatakan Allah ada di atas 'Arsy atau ada di mana-mana

Senada dengan hadits yang diriwayatkan oleh al Bukhari di atas perkataan sayyidina Ali ibn Abi Thalib -semoga Allah meridlainya-:

Maknanya: "Allah ada (pada azal) dan belum ada tempat dan Dia (Allah) sekarang (setelah menciptakan tempat) tetap seperti semula, ada tanpa tempat" (Dituturkan oleh al Imam Abu Manshur al Baghdadi dalam kitabnya al Farq bayna al Firaq h. 333).

Karenanya tidak boleh dikatakan Allah ada di satu tempat atau di mana-mana, juga tidak boleh dikatakan Allah ada di satu arah atau semua arah penjuru. Syekh Abdul Wahhab asy-Sya'rani (W. 973 H) dalam kitabnya al Yawaqiit Wa al Jawaahir menukil perkataan Syekh Ali al Khawwash: "Tidak boleh dikatakan bahwa Allah ada di mana-mana".

Aqidah yang mesti diyakini bahwa Allah ada tanpa arah dan tanpa tempat.

Al Imam Ali -semoga Allah meridlainya- mengatakan yang maknanya:"Sesungguhnya Allah menciptakan 'Arsy (makhluk Allah yang paling besar) untuk menampakkan kekuasaan-Nya bukan untuk menjadikannya tempat bagi Dzat-Nya" (diriwayatkan oleh Abu Manshur

al Baghdadi dalam kitab al Farq bayna al Firaq, hal. 333)

Sayyidina Ali -semoga Allah meridlainya- juga mengatakan yang maknanya:"Sesungguhnya yang menciptakan ayna (tempat) tidak boleh dikatakan bagi-Nya di mana (pertanyaan tentang tempat), dan yang menciptakan kayfa (sifat-sifat makhluk) tidak boleh dikatakan bagi-Nya

bagaimana" (diriwayatkan oleh Abu al Muzhaffar al Asfarayini dalam kitabnya at-Tabshir fi ad-Din, hal. 98).

A llah Maha suci dari Hadd

Maknanya: Menurut ulama tauhid yang dimaksud al mahdud (sesuatu yang berukuran) adalah segala sesuatu yang memiliki bentuk baik kecil maupun besar. Sedangkan pengertian al hadd (batasan) menurut mereka adalah bentuk baik kecil maupun besar. Adz-Dzarrah (sesuatu yang

terlihat dalam cahaya matahari yang masuk melalui jendela) mempunyai ukuran demikian juga 'Arsy, cahaya, kegelapan dan angin masing-masing mempunyai ukuran.

Al Imam Sayyidina Ali -semoga Allah meridlainya- berkata yang maknanya:"Barang siapa beranggapan (berkeyakinan) bahwa Tuhan kita berukuran maka ia tidak mengetahui Tuhan yang wajib disembah (belum beriman kepada-Nya)" (diriwayatkan oleh Abu Nu'aym (W. 430 H) dalam Hilyah al Auliya', juz I hal. 72).

Maksud perkataan sayyidina Ali tersebut adalah sesungguhnya berkeyakinan bahwa Allah adalah benda yang kecil atau berkeyakinan bahwa Dia memiliki bentuk yang meluas tidak berpenghabisan merupakan kekufuran.

Semua bentuk baik Lathif maupun Katsif, kecil ataupun besar memiliki tempat dan arah serta ukuran. Sedangkan Allah bukanlah benda dan tidak disifati dengan sifat-sifat benda, karenanya ulama Ahlussunnah Wal Jama'ah mengatakan: "Allah ada tanpa tempat dan arah serta tidak mempunyai ukuran, besar maupun kecil". Karena sesuatu yang memiliki tempat dan arah pastilah benda. Juga tidak boleh dikatakan tentang Allah bahwa tidak ada yang mengetahui

tempat-Nya kecuali Dia. Adapun tentang benda Katsif bahwa ia mempunyai tempat, hal ini jelas sekali. Dan mengenai benda lathif bahwa ia mempunyai tempat, penjelasannya adalah bahwa ruang kosong yang diisi oleh benda lathif, itu adalah tempatnya. Karena definisi tempat adalah ruang kosong yang diisi oleh suatu benda.

Al Imam As-Sajjad Zayn al 'Abidin 'Ali ibn al Husain ibn 'Ali ibn Abi Thalib (38 H-94 H) berkata : "Engkaulah Allah yang tidak diliputi tempat", dan dia berkata: "Engkaulah Allah yang Maha suci dari hadd (benda, bentuk, dan ukuran)", beliau juga berkata : "Maha suci Engkau yang tidak bisa diraba maupun disentuh" yakni bahwa Allah tidak menyentuh sesuatupun dari makhluk-Nya dan Dia tidak disentuh oleh sesuatupun dari makhluk-Nya karena Allah bukan benda. Allah Maha suci dari sifat berkumpul, menempel, berpisah dan tidak berlaku jarak antara Allah dan makhluk-Nya karena Allah bukan benda dan Allah ada tanpa arah. (Diriwayatkan oleh al Hafizh az-Zabidi dalam al Ithaf dengan rangkaian sanad muttashil mutasalsil yang kesemua perawinya adalah Ahl al Bayt; keturunan Rasulullah).

Hal ini juga sebagai bantahan terhadap orang yang berkeyakinan Wahdatul Wujud dan Hulul.

Bantahan Ahlussunnah terhadap Keyakinan Tasybih; bahwa Allah bertempat, duduk atau bersemayam di atas 'Arsy.

Al Imam Abu Hanifah -semoga Allah meridlainya- berkata : "Barangsiapa yang mengatakan saya tidak tahu apakah Allah berada di langit ataukah berada di bumi maka dia telah kafir". (diriwayatkan oleh al Maturidi dan lainnya).

Al Imam Syekh al 'Izz ibn 'Abd as-Salam asy-Syafi'i dalam kitabnya "Hall ar-Rumuz" menjelaskan maksud Imam Abu Hanifah, beliau mengatakan : "Karena perkataan ini memberikan persangkaan bahwa Allah bertempat, dan barang siapa yang menyangka bahwa Allah bertempat maka ia adalah musyabbih (orang yang menyerupakan Allah dengan

makhluk-Nya)". Demikian juga dijelaskan maksud Imam Abu Hanifah ini oleh al Bayadli al Hanafi dalam Isyarat al Maram.

Al Imam al Hafizh Ibn al Jawzi (W. 597 H) mengatakan dalam kitabnya Daf'u Syubah at-Tasybih :

Maknanya: "Sesungguhnya orang yang mensifati Allah dengan tempat dan arah maka ia adalah Musyabbih (orang yang menyerupakan Allah dengan Makhluk-Nya) dan Mujassim (orang yang meyakini bahwa Allah adalah jisim: benda) yang tidak mengetahui sifat Allah".

Al Hafizh Ibnu Hajar al 'Asqalani (W. 852 H) dalam Fath al Bari Syarh Shahih al Bukhari mengatakan :

"Sesungguhnya kaum Musyabbihah dan Mujassimah adalah mereka yang mensifati Allah dengan tempat padahal Allah maha suci dari tempat".



Di dalam kitab al Fatawa al Hindiyyah, cetakan Dar Shadir, jilid II, h. 259 tertulis sebagai berikut: "Adalah kafir orang yang menetapkan tempat bagi Allah ta'ala ".

Juga dalam kitab Kifayah al Akhyar karya al Imam Taqiyyuddin al Hushni (W. 829 H), Jilid II, h. 202, Cetakan Dar al Fikr, tertulis sebagai berikut : "… hanya saja an-Nawawi menyatakan dalam bab Shifat ash-Shalat dari kitab Syarh al Muhadzdzab bahwa Mujassimah adalah kafir, Saya (al Hushni) berkata: "Inilah kebenaran yang tidak dibenarkan selainnya, karena tajsim (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya dan meyakini bahwa Allah adalah jisim –benda-) jelas menyalahi al Qur'an. Semoga Allah memerangi golongan Mujassimah dan Mu'aththilah (golongan yang menafikan sifat-sifat Allah), alangkah beraninya mereka menentang Allah yang berfirman tentang Dzat-Nya (Q.S. asy-Syura : 11) :

Maknanya: "Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya dan Dia disifati dengan sifat pendengaran dan penglihatan yang tidak menyerupai pendengaran dan penglihatan makhluk-Nya". Ayat ini jelas membantah kedua golongan tersebut".

Imam Abu Hanifah Mensucikan Allah dari Arah

Al Imam Abu Hanifah –semoga Allah meridlainya- dalam kitabnya al Washiyyah berkata yang maknanya: "Bahwa penduduk surga melihat Allah ta'ala adalah perkara yang haqq (pasti terjadi) tanpa (Allah) disifati dengan sifat-sifat benda, tanpa menyerupai makhluk-Nya dan tanpa (Allah)berada di suatu arah"

Ini adalah penegasan al Imam Abu Hanifah –semoga Allah meridlainya- bahwa beliau menafikan arah dari Allah ta'ala dan ini menjelaskan kepada kita bahwa ulama salaf mensucikan Allah dari tempat dan arah.

Imam Malik Mensucikan Allah dari sifat Duduk, Bersemayam atau semacamnya

Al Imam Malik –semoga Allah meridlainya– berkata: "Ar-Rahman 'ala al 'Arsy istawa sebagaimana Allah mensifati Dzat (hakekat)-Nya dan tidak boleh dikatakan bagaimana, dan kayfa (sifat-sifat makhluk) adalah mustahil bagi-Nya" (Diriwayatkan oleh al Bayhaqi dalam al Asma' Wa ash-Shifat).

Maksud perkataan al Imam Malik tersebut, bahwa Allah maha suci dari semua sifat benda seperti duduk, bersemayam, berada di suatu tempat dan arah dan sebagainya.nSedangkan riwayat yang mengatakan wa al Kayf Majhul adalah tidak benar dan Al Imam Malik tidak pernah mengatakannya.

Dzat Allah Tidak Bisa Dibayangkan

Al Imam asy-Syafi'i -semoga Allah meridlainya– berkata: "Barang siapa yang berusaha untuk mengetahui pengatur-Nya (Allah) hingga meyakini bahwa yang ia bayangkan dalam benaknya adalah Allah, maka dia adalah musyabbih (orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya), kafir. Dan jika dia berhenti pada keyakinan bahwa tidak ada tuhan (yang mengaturnya) maka dia adalah mu'aththil -atheis- (orang yang meniadakan Allah). Dan jika berhenti pada keyakinan bahwa pasti ada pencipta yang menciptakannya dan tidak menyerupainya serta mengakui bahwa dia tidak akan bisa membayangkan-Nya maka dialah muwahhid (orang yangmentauhidkan Allah); muslim". (Diriwayatkan oleh al Bayhaqi dan lainnya)

Al Imam Ahmad ibn Hanbal dan al Imam Tsauban ibn Ibrahim Dzu an-Nun al Mishri, salah seorang murid terkemuka al Imam Malik -semoga Allah meridlai keduanya- berkata: "Apapun yang terlintas dalam benakmu (tentang Allah) maka Allah tidak menyerupai itu (sesuatu yang

terlintas dalam benak)" (Diriwayatkan oleh Abu al Fadll at-Tamimi dan al Khathib al Baghdadi)

Hukum Orang yang meyakini Tajsim; bahwa Allah adalah Benda

Syekh Ibn Hajar al Haytami (W. 974 H) dalam al Minhaj al-Qawim h. 64, mengatakan: "Ketahuilah bahwasanya al Qarafi dan lainnya meriwayatkan perkataan asy-Syafi'i, Malik, Ahmad dan Abu Hanifah -semoga Allah meridlai mereka- mengenai pengkafiran mereka terhadap orangorang yang mengatakan bahwa Allah di suatu arah dan dia adalah benda,

mereka pantas dengan predikat tersebut (kekufuran)".

Al Imam Ahmad ibn Hanbal –semoga Allah meridlainyamengatakan:

"Barang siapa yang mengatakan Allah adalah benda, tidak seperti benda-benda maka ia telah kafir" (dinukil oleh Badr ad-Din az-Zarkasyi (W. 794 H), seorang ahli hadits dan fiqh bermadzhab Syafi'I dalam kitab Tasynif al Masami' dari pengarang kitab al Khishal dari

kalangan pengikut madzhab Hanbali dari al Imam Ahmad ibn Hanbal). Al Imam Abu al Hasan al Asy'ari dalam karyanya an-Nawadir mengatakan : "Barang siapa yang berkeyakinan bahwa Allah adalah benda maka ia telah kafir, tidak mengetahui Tuhannya".

As-Salaf ash-Shalih Mensucikan Allah dari Hadd, Anggota badan, Tempat, Arah dan Semua Sifat-sifat Makhluk

Al Imam Abu Ja'far ath-Thahawi -semoga Allah meridlainya- (227-321 H) berkata: "Maha suci Allah dari batas-batas (bentuk kecil maupunbesar, jadi Allah tidak mempunyai ukuran sama sekali), batas akhir, sisi-sisi, anggota badan yang besar (seperti wajah, tangan dan lainnya) maupun anggota badan yang kecil (seperti mulut, lidah, anak lidah, hidung, telinga dan lainnya).

Dia tidak diliputi oleh satu maupun enam arah penjuru (atas, bawah, kanan, kiri, depan dan belakang) tidak seperti makhluk-Nya yang diliputi enam arah penjuru tersebut".

Perkataan al Imam Abu Ja'far ath-Thahawi di atas merupakan Ijma' (konsensus) para sahabat dan Salaf (orang-orang yang hidup pada tiga abad pertama hijriyah).

Diambil dalil dari perkataan tersebut bahwasanya bukanlah maksud dari mi'raj bahwa Allah berada di arah atas lalu Nabi Muhammad shallallahu 'alayhi wasallam naik ke atas untuk bertemu

dengan-Nya, melainkan maksud mi'raj adalah memuliakan Rasulullah shalalllahu 'alayhi wasallam dan memperlihatkan kepadanya keajaiban makhluk Allah sebagaimana dijelaskan dalam al Qur'an surat al Isra ayat 1. Juga tidak boleh berkeyakinan bahwa Allah mendekat kepada Nabi Muhammad shallallahu 'alayhi wasallam sehingga jarak antara keduanya dua hasta atau lebih dekat, melainkan yang kepada Nabi Muhammad shallallahu 'alayhi wasallam di saat mi'rajadalah Jibril 'alayhissalam, sebagaimana diriwayatkan oleh al Imam al Bukhari (W. 256 H) dan lainnya dari as-Sayyidah 'Aisyah -semoga Allah meridlainya-, maka wajib dijauhi kitab Mi'raj Ibnu 'Abbas dan Tanwir al Miqbas min Tafsir Ibnu 'Abbas karena keduanya adalah kebohongan belaka yang dinisbatkan kepadanya.

Sedangkan ketika seseorang menengadahkan kedua tangannya ke arah langit ketika berdoa, hal ini tidak menandakan bahwa Allah berada di arah langit. Akan tetapi karena langit adalah kiblat berdoa dan merupakan tempat turunnya rahmat dan barakah. Sebagaimana apabila seseorang ketika melakukan shalat ia menghadap ka'bah. Hal ini tidak berarti bahwa Allah berada di dalamnya, akan tetapi karena ka'bah adalah kiblat shalat. Penjelasan seperti ini dituturkan oleh para ulama Ahlussunnah Wal Jama'ah seperti al Imam al Mutawalli (W. 478 H) dalam kitabnya al Ghun-yah, al Imam al Ghazali (W. 505 H) dalam kitabnya Ihya 'Ulum ad-Din, al Imam an-Nawawi (W. 676 H) dalam kitabnya Syarh Shahih Muslim, al Imam Taqiyy ad-Din as-Subki (W.

756 H) dalam kitab as-Sayf ash-Shaqil dan masih banyak lagi.

Perkataan al Imam at-Thahawi tersebut juga merupakan bantahan terhadap pengikut paham Wahdah al Wujud yang berkeyakinan bahwa Allah menyatu dengan makhluk-Nya atau pengikut paham Hulul yang berkeyakinan bahwa Allah menempati makhluk-Nya. Dan ini adalah kekufuran berdasarkan Ijma' (konsensus) kaum muslimin sebagaimana dikatakan oleh al Imam as-Suyuthi (W. 911 H) dalam karyanya al Hawi li al Fatawi dan lainnya, juga para panutan kita ahli tasawwuf sejati seperti al Imam al Junaid al Baghdadi (W. 297 H), al Imam Ahmad ar-Rifa'i (W. 578 H), Syekh Abdul Qadir al Jilani (W. 561 H) dan semua Imam tasawwuf sejati, mereka selalu memperingatkan masyarakat akan orang-orang yang berdusta sebagai pengikut tarekat tasawwuf dan meyakini aqidah Wahdah al Wujud dan Hulul.

Al Imam ath-Thahawi juga mengatakan:

"Barangsiapa menyifati Allah dengan salah satu sifat manusia maka ia telah kafir".

Di antara sifat-sifat manusia adalah bergerak, diam, turun, naik, duduk, bersemayam, mempunyai jarak, menempel, berpisah, berubah, berada pada satu tempat dan arah, berbicara dengan huruf, suara dan bahasa dan sebagainya. Maka orang yang mengatakan bahwa bahasa

Arab atau bahasa-bahasa selain bahasa Arab adalah bahasa Allah atau mengatakan bahwa kalam Allah yang azali (tidak mempunyai permulaan) dengan huruf, suara atau semacamnya, dia telah

menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Dan barang siapa yang menyifati Allah dengan salah satu dari sifat-sifat manusia seperti yang tersebut di atas atau semacamnya ia telah terjerumus dalam kekufuran.

Begitu juga orang yang meyakini Hulul dan Wahdah al Wujud telah menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya.

Aqidah Imam Abul Hasan al Asy'ari

Al Imam Abu al Hasan al Asy'ari (W. 324 H) –semoga Allah meridlainya- berkata: "Sesungguhnya Allah ada tanpa tempat" (diriwayatkan oleh al Bayhaqi dalam al Asma wa ash-Shifat).Beliau juga mengatakan: "Tidak boleh dikatakan bahwa Allah ta'ala di satu tempat atau di semua tempat". Perkataan al Imam al Asy'ari ini dinukil oleh al Imam Ibnu Furak (W. 406 H) dalam karyanya al Mujarrad.

Ini adalah salah satu bukti yang menunjukkan bahwa kitab al Ibanah yang dicetak dan tersebar sekarang dan dinisbatkan kepada al Imam Abu al Hasan al Asy'ari telah banyak dimasuki sisipan-sisipan palsu dan penuh kebohongan, maka hendaklah dijauhi kitab tersebut.

Ayat Muhkamat dan Mutasyabihat

Al Imam Ahmad ar-Rifa'i (W. 578 H) dalam al Burhan al Muayyad berkata:"Jagalah aqidah kamu sekalian dari berpegang kepada zhahir ayat al Qur'an dan hadits Nabi Muhammad shallallahu 'alayhi wasallam yang mutasyabihat sebab hal ini merupakan salah satu pangkal kekufuran".

Mutasyabihat artinya nash-nash al Qur'an dan hadits Nabi Muhammad shallallahu 'alayhi wasallam yang dalam bahasa arab mempunyai lebih dari satu arti dan tidak boleh diambil secara

zhahirnya, karena hal tersebut mengantarkan kepada tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya), akan tetapi wajib dikembalikan maknanya sebagaimana perintah Allah dalam al Qur'an pada ayat-ayat yang Muhkamat, yakni ayat-ayat yang mempunyai satu makna dalam bahasa Arab, yaitu makna bahwa Allah tidak menyerupai segala sesuatu dari makhluk-Nya.

Ayat Istiwa'

Di antara ayat-ayat Mutasyabihat yang tidak boleh diambil secara zhahirnya adalah firman Allah ta'ala (surat Thaha: 5):

Ayat ini tidak boleh ditafsirkan bawa Allah duduk (jalasa) atau bersemayam atau berada di atas 'Arsy dengan jarak atau bersentuhan dengannya. Juga tidak boleh dikatakan bahwa Allah duduk tidak seperti duduk kita atau bersemayam tidak seperti bersemayamnya kita, karena duduk dan bersemayam termasuk sifat khusus benda sebagaimana yang dikatakan oleh al Hafizh al Bayhaqi (W. 458 H), al Imam al Mujtahid Taqiyyuddin as-Subki (W. 756 H) dan al Hafizh Ibnu Hajar (W. 852 H) dan lainnya. Kemudian kata istawa sendiri dalam bahasa Arab memiliki 15 makna. Karena itu kata istawa tersebut harus ditafsirkan dengan makna yang layak bagi Allah dan selaras dengan ayat-ayat Muhkamat.

Berdasarkan ini, maka tidak boleh menerjemahkan kata istawa ke dalam bahasa Indonesia dan bahasa lainnya karena kata istawa mempunyai 15 makna dan tidak mempunyai padan kata (sinonim) yang mewakili 15 makna tersebut. Yang diperbolehkan adalah menerjemahkan maknanya, makna kata istawa dalam ayat tersebut adalah qahara (menundukkan atau menguasai).

Dengan ini diketahui bahwa tidak boleh berpegangan kepada "al Qur'an dan Terjemahnya" yang dicetak oleh Saudi Arabia karena di dalamnya banyak terdapat penafsiran dan terjemahan yang menyalahi aqidah Ahlussunnah Wal Jama'ah seperti ketika mereka menerjemahkan istawa dengan bersemayam, padahal Allah maha suci dari duduk, bersemayam dan semua sifat makhluk. Mereka juga menafsirkan Kursi dalam surat al Baqarah:255 dengan tempat letak telapak kaki-Nya, padahal Allah maha suci dari anggota badan, kecil maupun besar, seperti ditegaskan oleh al Imam ath-Thahawi dalam al 'Aqidah ath-Thahawiyyah.

Al Imam Ali –semoga Allah meridlainya- mengatakan: "Sesungguhnya Allah menciptakan 'Arsy untuk menampakkan kekuasaan-Nya bukan untuk menjadikannya tempat bagi Dzat-Nya".

Maka ayat tersebut di atas (surat Thaha: 5) boleh ditafsirkan dengan qahara (menundukkan dan menguasai) yakni Allah menguasai 'Arsy sebagaimana Dia menguasai semua makhluk-Nya. Karena al Qahr adalah merupakan sifat pujian bagi Allah. Dan Allah menamakan dzat-Nya al Qahir dan al Qahhar dan kaum muslimin menamakan anak-anak mereka 'Abdul Qahir dan 'Abdul Qahhar. Tidak seorangpun dari umat Islam yang menamakan anaknya 'Abd al jalis (al jalis adalah nama bagi yang duduk). Karena duduk adalah sifat yang sama-sama dimiliki oleh manusia, jin, hewan dan malaikat. Penafsiran di atas tidak berarti bahwa Allah sebelum itu tidak menguasai 'arsy kemudian menguasainya, karena al Qahr adalah sifat Allah yang azali (tidak

mempunyai permulaan) sedangkan 'arsy adalah merupakan makhluk yang baru (yang mempunyai permulaan). Dalam ayat ini, Allah menyebut 'arsy secara khusus karena ia adalah makhluk Allah yang paling besar bentuknya. Riwayat yang Sahih dari Imam Malik tentang Ayat Istiwa' Al Imam Malik ditanya mengenai ayat tersebut di atas, kemudian beliau menjawab:

Maknanya: "Dan tidak boleh dikatakan bagaimana dan al kayf /bagaimana (sifat-sifat benda) mustahil bagi Allah". (diriwayatkan oleh al Hafizh al Bayhaqi dalam kitabnya al Asma wa ash-Shifat)

Maksud perkataan al Imam Malik tersebut, bahwa Allah maha suci dari semua sifat benda seperti duduk, bersemayam dan sebagainya. Sedangkan riwayat yang mengatakan wal Kayf Majhul

adalah tidak benar.

Penegasan Imam Syafi'i tentang Orang yang Berkeyakinan Allah duduk di atas 'Arsy

Ibn al Mu'allim al Qurasyi (W. 725 H) menyebutkan dalam karyanya Najm al Muhtadi menukil perkataan al Imam al Qadli Najm ad-Din dalam kitabnya Kifayah an-Nabih fi Syarh at-Tanbih bahwa ia menukil dari al Qadli Husayn (W. 462 H) bahwa al Imam asy-Syafi'I menyatakan kekufuran orang yang meyakini bahwa Allah duduk di atas 'arsy dan tidak boleh shalat (makmum) di belakangnya.

Ulama Ahlussunnah yang Mentakwil Istiwa'

Kalangan yang mentakwil istawa dengan qahara adalah para ulama Ahlussunnah Wal Jama'ah. Di antaranya adalah al Imam 'Abdullah ibn Yahya ibn al Mubarak (W. 237 H) dalam kitabnya

Gharib al Qur'an wa Tafsiruhu, al Imam Abu Manshur al Maturidi al Hanafi (W. 333 H) dalam kitabnya Ta'wilat Ahlussunnah Wal Jama'ah, az-Zajjaj, seorang pakar bahasa Arab (W. 340 H) dalam kitabnya Isytiqaq Asma Allah, al Ghazali asy-Syafi'i (W. 505 H) dalam al Ihya, al Hafizh Ibn al Jawzi al Hanbali (W. 597 H) dalam kitabnya Daf'u Syubah at-Tasybih, al Imam Abu 'Amr ibn al Hajib al Maliki (W. 646 H) dalam al Amaali an-Nahwiyyah, Syekh Muhammad Mahfuzh at-Termasi al Indonesi asy-Syafi'i (W. 1285-1338 H) dalam Mawhibah dzi al Fadll, Syekh Muhammad Nawawi al Jawi al Indonesi asy-Syafi'i (W. 1314 H-1897) dalam kitabnya at-Tafsir al Munir dan masih banyak lagi yang lainnya. Inkonsistensi Orang yang Memahami Ayat Istiwa' secara Zhahirnya Dan orang yang mengambil ayat mutasyabihat ini secara zhahirnya, apakah yang akan ia katakan tentang ayat 115 surat al Baqarah.

Jika orang itu mengambil zhahir ayat ini berarti maknanya: "ke arah manapun kalian menghadap, di belahan bumi manapun, niscayaAllah ada di sana". Dengan ini berarti keyakinannya saling bertentangan.

Akan tetapi makna ayat di atas bahwa seorang musafir yang sedang melakukan shalat sunnah di atas hewan tunggangan, ke arah manapun hewan tunggangan itu menghadap selama arah tersebut adalah arah tujuannya maka – فثم وجه الله – di sanalah kiblat Allah sebagaimana yang dikatakan oleh Mujahid (W. 102 H) murid Ibn Abbas. Takwil Mujahid ini diriwayatkan oleh al Hafizh al Bayhaqi dalam al Asma' Wa ash-Shifat.Rata Kanan

Download kitab aqidah ini ada 111 halaman, dalam bhs indonesia, penerbit syahamah press dgn kata pengantar ulama2 sunni :

http://darulfatwa.org.au/languages/Indonesian/Kitab_Al-%5EAqidah_print3.pdf

admin.darussalaf@*****.com

Read More

Post Top Ad