Sistem halaqah atau majelis ta’lim merupakan keunggulan yang semoga akan terus dipelihara dalam menegakkan dakwah dan kaderisasi ulama di tanah Betawi.
Dalam rentang 482 tahun usia ibukota Jakarta , gempita dakwah tetap terjaga. Fundamen kukuh yang dibangun para ulama dan habaib sejak kota ini bernama Sunda Kalapa lalu menjadi Jayakarta, Batavia , dan akhirnya Jakarta , telah tertancap kuat di tengah masyarakat Betawi.
Pergeseran zaman dan perputaran sejarah tentu membawa riak-riak yang mempengaruhi struktur dangaya hidup masyarakat Betawi,
tetapi tetap tidak mengubah akar mereka sebagai penganut Islam sehingga Betawi itu identik dengan Islam.
Sistem halaqah atau majelis ta’lim yang dikembangkan oleh para ulama dan habaib, yang mengerti persis corak, kultur, kondisi sosiologis dan tuntutan masyarakat Betawi, telah menjadi dasar yang tak lapuk oleh zaman dalam mempertahankan eksistensi agama Islam di tengah masyarakat Betawi.
Christiaan Snouck Hurgrounje, yang pernah disebut-sebut sebagai orientalis paling berhasil di dunia, mencatat, masyarakat Betawi adalah penduduk pribumi yang paling lama dan paling erat berinteraksi dengan bangsa Eropa.
Lebih jauh Snouck mengatakan, tidak ada satu kampung pun di Jawa yang lebih taat beragama Islam dalam setiap tingkah lakunya daripada Betawi, dan agama Islam di Betawi lebih maju dari daerah lain. Dalam makalahnya, Khazanah Jakarta Menghadapi Tantangan Zaman, K.H. Saifuddin Amsir menguraikan, gambaran Snouck ini menunjukkan bahwa ia adalah orang yang sangat mengerti kultur masyarakat di Indonesia dan bahwa kultur keagamaan di Betawi sudah begitu kuat sejak zaman penjajahan dulu.
Patut dicatat, Betawi pernah melahirkan ulama besar, yakni Syaikh Ahmad Junaidi Al-Batawi, yang pernah menjadi imam di Masjidil Haram. Ia bermukim di Makkah sekitar tahun 1834 M. Salah seorang muridnya yang berasal dari Mester Jatinegara, yaitu Guru Mujtaba, juga ulama besar. Guru Mujtaba ini bermukim di Makkah sekitar 40 tahun dan menghasilkan ulama-ulama besar yang kemudian mengisi khazanah ulama Betawi, seperti Guru Manshur Al-Falaki dari Jembatan Lima, Jakarta Barat.
Snouck mengomentari bahwa orang-orang Betawi adalah orang yang kental beragama Islam. Dari sisi keulamaan, Betawi dikenal karena adanya Habib Utsman Bin Yahya, mufti Betawi yang dengan konsisten mengajarkan sendi-sendi Islam ke segenap masyarakat Indonesia.
Sikap konsisten Habib Utsman Bin Yahya ini menurun kepada ulama-ulama Betawi belakangan. Seperti Guru Marzuki dari Cipinang Muara, Jakarta Timur; Guru Manshur Al-Falaki dari Jembatan Lima, Jakarta Barat; Guru Mahmud Ramli dari Menteng Dalam, Jakarta Selatan; Guru Mughni dari Kuningan, Jakarta Selatan.
Secara spektakuler orang-orang Jakarta, yang terbingkai dengan sebutan Betawi, tidak bisa melepaskan sejarah hubungan formal mereka yang begitu kental dengan orang Betawi tempo dulu yang berada di Makkah, dari Imam Junaid sampai dengan Imam Mujtaba.
Beberapa guru dari Betawi yang pernah mengajar di Masjidil Haram, seperti Guru Mahmud Ramli, Menteng Dalam, memunculkan kekuatan yang dapat mengantisipasi skenario besar yang dirancang oleh dunia luar Islam, yaitu kaum penjajah, dengan warna kebencian Barat terhadap Islam.
Bila pada masa-masa itu di India orang mengenal Ahmadiyah, yang dimotori oleh penjajah Inggris, di Iran ada alirah Baha’iyyah, yang dimotori Rusia, di Indonesia muncul aliran-aliran yang dimotori oleh orientalis-orientalis seperti Snouck dan Vander Plast, yang dapat mengunci mati semangat perjuangan umat Islam.
Tapi kehadiran ulama-ulama Betawi bagaikan ikan yang terus hidup di laut tapi tidak pernah asin oleh asinnya air laut. Mereka mampu membentengi aqidah umat dengan istiqamah dan membuat warga Betawi tetap eksis dalam Islam.
Alhasil, setiap warga Betawi identik dengan pemeluk Islam. Sehingga menjadi aneh kalau, belakangan ini, ada orang mengaku asli Betawi tapi bukan muslim.
Peran Halaqah
Menurut Abdul Aziz dalam makalahnya, Peranan Islam dalam Pembentukan Identitas Kebetawian, kuatnya pengaruh Islam dan sentimen anti Barat pada pertengahan abad ke-19 dapat dilihat dari kaitannya dengan perkembangan dakwah Islam yang semakin meningkat, terutama dengan munculnya ulama terkemuka di kalangan orang Betawi. Mereka adalah para ulama yang dididik di masjid-masjid Betawi lalu menuntut ilmu lanjutan di Tanah Suci.
Para ulama tersebut adalah kelompok terdidik yang secara perorangan maupun kolektif memiliki kemampuan mengembangkan solidaritas di kalangan masyarakat Betawi. Sebagaimana umumnya para haji di wilayah lain di Nusantara yang mengobarkan semangat anti penjajahan, pengalaman para ulama itu selama di Tanah Suci serta dedikasi mereka dalam berdakwah sekembalinya ke tanah air telah menempatkan mereka sebagai kelompok elite yang mampu memobilisasi dukungan masyarakat melalui fatwa-fatwa keagamaan, menumbuhkan proses identifikasi yang kuat terhadap Islam, dan menolak identitas lain selain Islam, termasuk penjajah.
Dalam masa ini perkembangan syiar Islam semakin intensif. Hal ini terlihat dari jangkauan wilayah dakwah para ulama itu, keberhasilan anak didik mereka menjadi juru dakwah di daerah mereka sendiri, serta penyediaan bahan bacaan keagamaan dalam tulisan Arab Melayu.
Enam “Pendekar” Betawi
Jaringan intelektual para ulama itu menampakkan bentuknya yang lebih jelas di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, ketika sedikitnya enam orang ulama terkemuka berhasil melebarkan pengaruh keulamaan yang menjangkau hampir seluruh bagian Batavia. Jaringan keulamaan yang dikembangkan oleh enam “pendekar” itu kelak merupakan salah satu pilar kekuatan mereka sebagai kelompok elite yang diakui masyarakat.
Keenam ulama itu adalah K.H. Moh Mansur (Guru Mansur) dari Jembatan Lima, K.H Abdul Majid (Guru Majid) dari Pekojan, K.H. Ahmad Khalid (Guru Khalid) dari Gondangdia, K.H. Mahmud Romli (Guru Mahmud) dari Menteng Dalam, K.H Ahmad Marzuki (Guru Marzuki) dari Klender, dan K.H. Abdul Mughni (Guru Mugni) dari Kuningan.
Corak pendidikan para ulama tersebut, baik selama di tanah air maupun di Tanah Suci, sangat menentukan corak pemahaman Islam yang mereka sebar luaskan di kalangan orang Betawi. Ciri utama corak ini ialah kecenderungan yang kuat mempertahankan tradisi pemahaman Islam melalui khazanah intelektual sebagaimana terkandung dalam kitab-kitab klasik berbahasa Arab.
Sejalan dengan pengalaman belajar mereka di Tanah Suci yang umumnya berbentuk pengajian halaqah di masjid, model belajar dan materi yang diajarkan kepada murid-murid mereka di tanah air juga tidak berbeda jauh dari pengalaman belajar mereka sendiri.
Pendidikan model madrasah sebenarnya telah dikenal di Makkah dan Madinah sejak abad ke-12 dan terus berkembang hingga masa kedatangan orang-orang Islam dari Nusantara, tetapi tidak banyak ulama Betawi abad ke-19 yang memanfaatkan madrasah sebagai tempat menimba ilmu.
Menurut K.H. Ahmad Junaidi, seorang ulama Betawi terkemuka yang pernah tinggal di Makkah selama enam tahun, hanya sedikit ulama Betawi yang belajar di madrasah. Sebelum tahun 1933, orang Betawi yang belajar di madrasah biasanya masuk ke Madrasah Saulitiyah, milik orang India. Sesudah muncul Madrasah Darul Ulum, yang didirikan orang Palembang pada tahun 1933, kebanyakan orang Betawi yang ingin belajar di madrasah masuk ke sini.
Alasan utama madrasah tidak terlalu diminati antara lain terletak pada masa belajar yang panjang dan alasan keuangan. Mereka memandang, apa yang dilakukan halaqah-halaqah di Masjidil Haram jauh lebih ideal, karena pelajaran yang dipentingkan adalah penguasaan kitab kuning (klasik).
Silsilah Intelektual
Dalam kaitan ini, sangat penting bagi mereka silsilah intelektual. Salah satu prinsip yang mereka anut, al-isnad (sandaran intelektual) merupakan sebagian dari urusan agama, karena tanpa itu setiap orang akan merasa berhak mengatakan apa yang diinginkannya.
Sebagian besar ulama Betawi abad ke-19 yang belajar di Makkah berguru kepada sejumlah ulama yang memiliki isnad dengan ulama-ulama terkemuka di Makkah dan Madinah (Haramain) abad ke-17, seperti Ahmad Al-Qusyasyi dan Abdul Aziz Al-Zamzami. Di antara guru-guru mereka yang paling luas dikenal adalah Syaikh Mukhtar Atharid, Syaikh Umar Bajunaid, dan Syaikh Umar Sumbawa.
Mukhtar Atharid dan Umar Bajunaid memiliki isnad melalui Syaikh Abubakar Syatha Al-Dimyati, pengarang kitab I’anatut Thalibin. Sedangkan isnad Umar Sumbawa melalui Syaikh Abdullah As-Syarkawi, pengarang kitab Syarkawi. Kedua kitab tersebut merupakan kitab standar di kalangan ulama Indonesia.
Sebagian guru mereka tidak selalu memiliki isnad dengan ulama terkemuka di abad sebelumnya, namun mereka tetap memiliki isnad yang pada akhirnya bermuara kepada apa yang disebut oleh Guru Mansur sebagai Ma’dan al-Irfan, atau sumber ilmu pengetahuan, yaitu Rasulullah SAW. Demikian pula, para ulama Betawi abad ke-20 yang sempat bermukim di Haramain belajar kepada murid-murid para ulama Haramain yang pernah mengajar ulama Betawi di abad sebelumnya, sehingga isnad mereka tetap terpelihara.
Sebagaimana lazimnya tradisi halaqah, seorang ulama tidak pernah belajar hanya kepada satu guru, melainkan kepada banyak guru, sehingga terdapat isnad di mana sejumlah besar ulama Betawi pada kurun waktu tertentu belajar dari ulama yang sama dan menciptakan isnad yang bersifat kolektif, di samping ada pula isnad yang bersifat perorangan.
Berbeda dengan ulama di Jawa, yang pada umumnya mengembangkan pondok pesantren, para ulama Betawi tetap setia dengan model halaqah di masjid-masjid, sebagaimana mereka alami di Tanah Suci. Dari keenam ulama Betawi abad ke-19, hanya Guru Marzuki Klender yang mendirikan pesantren dengan santri mukim sekitar 50 orang, tapi kemudian tidak dapat bertahan sepeninggalnya.
Ulama lainnya yaitu Guru Mansur, yang sempat berkiprah mengajar di madrasah pertama di Batavia, Jamiat Kheir. Bukannya mendirikan pesantren, tetapi justru mendirikan Madrasah Perguruan Islam Al-Mansyuriah. Secara umum dapatlah dikatakan, para ulama Betawi yang lebih belakangan cenderung mengembangkan madrasah daripada pondok pesantren. Sehingga mereka memadukan penyelenggaraan madrasah dengan pengajian model halaqah di masjid.
Halaqah seorang ulama Betawi biasanya tidak terbatas di masjid yang berlokasi dekat rumahnya, tapi lebih dari itu, menjangkau ke berbagai tempat yang jauh. Contoh aktual K.H. Syafi’i Hadzami, salah seorang mua’llim Betawi yang disegani. Ia mempunyai 40-an halaqah di berbagai tempat.
Khusus tentang Mua’llim M. Syafi’i Hadzami ini, pada akhir Mei yang lalu diadakan seminar bertajuk Muallim Syafi’i Hadzami In Memoriam, yang menyigi pemikiran dan kiprah dakwahnya sehingga dia diakui sebagai ulama terkemuka yang berpengaruh.
Tiga Institusi Pendidikan Agama
Salah seorang muridnya, K.H. Syaifuddin Amsir, membawakan makalah Peran Halaqah dan Majelis Ta’lim di DKI Jakarta dalam Mencetak Ulama. Menurut Syaifuddin Amsir, di masyarakat Betawi, ada tiga jenis institusi pendidikan yang dijadikan tempat untuk mendidik anak-anak mereka di bidang agama. Yaitu pesantren, madrasah, dan majelis ta’lim (halaqah)
Khusus majelis ta’lim, ini merupakan instusi pendidikan yang memiliki fungsi strategis dalam memaksimalkan masjid sebagai tempat pendidikan umat. Hal ini dikarenakan sebagian besar majelis ta’lim dari dahulu sampai sekarang, khususnya di Betawi, menjadikan masjid sebagai tempat aktivitasnya, dan sangat berperan penting dalam melahirkan ulama Betawi yang mumpuni di bidangnya.
Salah satu contohnya, Mu`allim K.H. Syafi`i Hadzami,`allamah di bidang fiqih Asy-Syafi`i yang pengaruhnya sangat luas, bahkan sampai hari ini, baik di masyarakat Betawi maupun luar Betawi. Ia ulama produk asli dari binaan banyak halaqah dan majelis ta’lim di Betawi. Pada masa menuntut ilmu, tidak kurang dari 11 majelis ta’lim dengan 11 orang guru yang ia datangi dalam rangka menuntut berbagai disiplin ilmu agama. Setelah menjadi ulama, ia pun mengajar tidak kurang di 30 majelis ta’lim sampai akhir hayatnya.
Dari pengajaran majelis ta’limnya, terlahir ulama Betawi terkemuka, seperti K.H. Drs. Saifuddin Amsir, K.H. Maulana Kamal, K.H. Abdurrahman Nawi, dan lain-lain, yang mereka pun meneruskan pengajaran di majelis ta’lim, baik di tempat gurunya pernah mengajar, majelis ta’lim yang dibentuknya, maupun majelis ta’lim yang dimiliki pihak lain.
Tiga Kelebihan
Keberhasilan halaqah di Betawi dalam mencetak ulama paling tidak karena dua hal. Pertama, tidak adanya batasan waktu untuk menyelesaikan satu disiplin ilmu atau satu kitab. Kedua, anak didik atau murid mempunyai kebebasan waktu dan kesempatan untuk menanyakan dan menyelesaikan pelajaran yang tidak dia pahami kepada gurunya. Dan ketiga, anak didik atau murid langsung dihadapkan dengan kasus-kasus yang terjadi di masyarakat.
Walhasil, dalam beberapa kesempatan telah teruji bahwa lulusan majelis ta’lim memiliki pemahaman ilmu agama yang lebih mendalam daripada lulusan perguruan tinggi Islam. Bahkan menurut Mu`allim K.H. Syafi`i Hadzami, tidak sedikit sarjana bidang Islam yang bergelar doktor dan profesor menjadikan lulusan majelis ta’lim sebagai tempat untuk bertanya tentang masalah-masalah yang pelik di bidang ke-Islaman.
Ini sangat beralasan. Karena, jika dilihat dari kitab-kitab yang dibahas dan ditamatkan di majelis ta’lim, tidak banyak dikupas bahkan tidak pernah dibahas secara tuntas di perguruan tinggi Islam. Kitab-kitab yang diajarkan majelis ta’lim di Betawi antara lain Syarh Hidayah al-Atqiya`, Syarh al-Hikam, Kifayah al-Atqiya`, Anwar Masalik, Tanbih al-Mughtarrin, Minhaj al-`Abidin, Tanbih al-Mughtarrin (semuanya kitab tasawuf).
Kemudian Sab`ah Kutub Mufidah, Fath al-Mu`in, Bidayah al-Mujtahid, Mughni al-Muhtaj, Minhaj at-Tholibin, Al-Mahalli, Fath al-Qorib, Kifayah al-Akhyar, Fath al-Wahhab, Tuhfah at-Thullab (kitab fiqih). Lalu Riyadh ash-Sholihin, Shohih Bukhori, Shohih Muslim, Nail al-Awthar (kitab hadits).
Berikutnya, Tafsir Ibn Katsir, Tafsir an-Nasafi, Tafsir Munir (kitab tafsir), Tarikh Muhammad (kitab sejarah), Al-Itqon Fi `Ulum al-Qur`an (ilmu Al-Quran). Selain kitab-kitab di atas, di antara ulama Betawi yang mempunyai dan memimpin majelis ta’lim ada yang mengajarkan kitab hasil karyanya sendiri, seperti K.H. Muhadjirin Amsar Ad-Darry, yang mengarang syarah kitab fiqih Bulugh al-Maram yang diberi judul Mishbah adz-Dzulaam sebanyak delapan juz.
Walau ia telah wafat, kitab Mishbah adz-Dzulaam sampai sekarang tetap diajarkan di beberapa majelis ta’lim yang dipimpin oleh muridnya atau milik orang lain, baik di Bekasi, di Jakarta (misalnya di Madrasah Al-Wathoniyyah 9, pimpinan K.H. Shodri), maupun di daerah lainnya.
Selain itu, kitab Taysir (kitab tajwid), karangan K.H. Abdul Hanan Sa`id (almarhum), yang sampai sekarang masih diajarkan di Majelis Ta’lim Manhalun Nasyi`in, yang kini dipimpin oleh murid K.H. Ali Saman, dan di tempat-tempat lain. Juga kitab-kitab yang dikarang oleh Mu`allim K.H. Syafi`i Hadzami.
Kitab karangan ulama Betawi yang diajarkan hingga ke luar negeri sampai sekarang, seperti di Malaysia, adalah kitab ilmu falak, Sullam An-Nayrain, karangan Guru Manshur Jembatan Lima. Sedemikian pentingnya halaqah dan majelis ta’lim bagi umat Islam, khususnya masyarakat Betawi, sebagai salah satu tempat utama dan terpenting untuk mencetak ulama masa depan. Maka tentu menjadi keprihatinan melihat kondisi halaqah yang secara fisik tempatnya tidak memadai lagi untuk digunakan. Belum lagi semakin rendah kemampuan para murid dan penyelenggara untuk membiayai operasionalisasinya.
Sudut Spiritualitas dan Intelektualitas
Kini sudah saatnya segenap pihak terkait memperhatikan secara lebih serius dan mengambil tindakan nyata untuk menyelamatkan keberadaan halaqah atau majelis ta’lim di ibu kota. Mu`allim K.H. M. Syafi`i Hadzami sendiri menyadari hal ini dan telah melakukan upaya tersebut melalui program Arbai`in (pesantren) dan mendapat dukungan dan sambutan yang positif dari berbagai pihak terkait, terutama Departemen Agama.
Demikian juga Kiai Syaifuddin. Ia menawarkan sebuah konsep tentang lembaga yang diberi nama Zawiyah Jakarta/Betawi Corner. Keberadaan lembaga ini pernah dimaklumatkan pada saat miladnya dan juga milad Mu`allim K.H. M. Syafi`i Hadzami, tanggal 31 Januari 2009 lalu.
Istilah Zawiyah Jakarta, yang dalam bahasa Indonesia berarti “Sudut Jakarta”, sarat dengan makna sufistis. Zawiyah Jakarta adalah sudut spiritualitas yang diharapkan dapat mencerahkan dan membebaskan umat dari kesempitan hati yang berada di tengah-tengah pertarungan hidup dan bergulat dengan dengan segala persoalannya. Sudut spiritualitas yang menjadi rumah bagi siapa pun yang tersingkir dan merasa kalah oleh kekuatan dan tipu daya duniawi dan mendampingi mereka untuk mencapai derajat insan kamil.
Sedangkan Istilah Betawi Corner dicetuskan kemudian sebagai sudut intelektualitas yang melengkapi sudut spritualitas. Ini juga sebagai tandingan atau antitesa dari Sudut Amerika, American Corner, yang bercokol di berbagai kalangan universitas di Indonesia, yang ditengarai mempunyai agenda tersendiri untuk merusak Islam dan semua agama yang ada melalui liberalisme dan pluralisme agama.
Betawi Corner menjadi urgent karena melihat kondisi masyarakat Betawi sekarang ini yang sangat memprihatinkan. Dengan adanya Betawi Corner, diharapkan akan muncul ulama Betawi yang dapat berperan sama dengan para pendahulunya bahkan lebih, dan gagasan ini diharapkan dapat bersinergi dengan Jakarta Islamic Centre.
Adapun kegiatannya dimulai dari dua hal. Yaitu mengadakan isitighatsah Jakarta, istighatsah masyarakat dan ulama ibu kota, dan program Awwabin (program seperti Arbai`n tapi dilakukan ba`da maghrib).
Pemberdayaan Umat
Nama Betawi Corner kemudian disandingkan dengan nama Zawiyah Jakarta, sehingga menjadi Zawiyah Jakarta/Betawi Corner. Diharapkan, Zawiyah Jakarta/Betawi Corner dapat menjadi wadah pergerakan spriritualitas dan intelektualitas serta sebagai wadah pemberdayaan umat yang manfaatnya diharapkan tidak hanya dirasakan oleh masyarakat Betawi, tetapi juga oleh masyarakat luas.
Visi dan misi lembaga ini adalah menjadi pusat pergerakan spiritualitas, intelektualitas, dan pemberdayaan umat, khususnya untuk masyarakat Betawi.
Adapun fungsinya adalah, pertama, sebagai tempat pembinaan spiritualitas dan intelektualitas. Kedua, tempat untuk melakukan rekacipta kebudayaan Betawi yang Islami. Ketiga, tempat bertemu, berdiskusi, dan bermusyawarah bagi ulama dan masyarakat Betawi dan Jakarta untuk merespons persoalan-persoalan yang muncul.
Keempat, tempat yang melahirkan produk-produk pemikiran Islam kontemporer yang berpegang pada warisan khazanah Islam masa lalu. Kelima, tempat pembibitan dan pengkaderan ustadz-utadz muda Betawi yang diharapkan bisa menjadi ulama-ulama Betawi yang berkualitas, bukan saja untuk masyarakat Betawi, tetapi juga untuk kepentingan umat Islam secara keseluruhan di kemudian hari.
Keenam, sebagai tempat pemberdayaan masyarakat sehingga masyarakat Betawi khususnya tidak tertinggal di bidang pendidikan, sosial, dan ekonomi dengan akhlaq dan tingkat pemahaman ke-Islaman yang memadai.
Halaqah atau majelis ta’lim memegang peranan penting dalam mencetak ulama dan memperkukuh dakwah Islamiyah di tanah Betawi. Oleh karenanya diharapkan agar keberadaan halaqah dipertahankan dan mendapatkan perhatian khusus dari pihak-pihak terkait, khususnya Pemprov DKI Jakarta
Dalam rentang 482 tahun usia ibu
Pergeseran zaman dan perputaran sejarah tentu membawa riak-riak yang mempengaruhi struktur dan
tetapi tetap tidak mengubah akar mereka sebagai penganut Islam sehingga Betawi itu identik dengan Islam.
Sistem halaqah atau majelis ta’lim yang dikembangkan oleh para ulama dan habaib, yang mengerti persis corak, kultur, kondisi sosiologis dan tuntutan masyarakat Betawi, telah menjadi dasar yang tak lapuk oleh zaman dalam mempertahankan eksistensi agama Islam di tengah masyarakat Betawi.
Christiaan Snouck Hurgrounje, yang pernah disebut-sebut sebagai orientalis paling berhasil di dunia, mencatat, masyarakat Betawi adalah penduduk pribumi yang paling lama dan paling erat berinteraksi dengan bangsa Eropa.
Lebih jauh Snouck mengatakan, tidak ada satu kampung pun di Jawa yang lebih taat beragama Islam dalam setiap tingkah lakunya daripada Betawi, dan agama Islam di Betawi lebih maju dari daerah lain. Dalam makalahnya, Khazanah Jakarta Menghadapi Tantangan Zaman, K.H. Saifuddin Amsir menguraikan, gambaran Snouck ini menunjukkan bahwa ia adalah orang yang sangat mengerti kultur masyarakat di Indonesia dan bahwa kultur keagamaan di Betawi sudah begitu kuat sejak zaman penjajahan dulu.
Patut dicatat, Betawi pernah melahirkan ulama besar, yakni Syaikh Ahmad Junaidi Al-Batawi, yang pernah menjadi imam di Masjidil Haram. Ia bermukim di Makkah sekitar tahun 1834 M. Salah seorang muridnya yang berasal dari Mester Jatinegara, yaitu Guru Mujtaba, juga ulama besar. Guru Mujtaba ini bermukim di Makkah sekitar 40 tahun dan menghasilkan ulama-ulama besar yang kemudian mengisi khazanah ulama Betawi, seperti Guru Manshur Al-Falaki dari Jembatan Lima, Jakarta Barat.
Snouck mengomentari bahwa orang-orang Betawi adalah orang yang kental beragama Islam. Dari sisi keulamaan, Betawi dikenal karena adanya Habib Utsman Bin Yahya, mufti Betawi yang dengan konsisten mengajarkan sendi-sendi Islam ke segenap masyarakat Indonesia.
Sikap konsisten Habib Utsman Bin Yahya ini menurun kepada ulama-ulama Betawi belakangan. Seperti Guru Marzuki dari Cipinang Muara, Jakarta Timur; Guru Manshur Al-Falaki dari Jembatan Lima, Jakarta Barat; Guru Mahmud Ramli dari Menteng Dalam, Jakarta Selatan; Guru Mughni dari Kuningan, Jakarta Selatan.
Secara spektakuler orang-orang Jakarta, yang terbingkai dengan sebutan Betawi, tidak bisa melepaskan sejarah hubungan formal mereka yang begitu kental dengan orang Betawi tempo dulu yang berada di Makkah, dari Imam Junaid sampai dengan Imam Mujtaba.
Beberapa guru dari Betawi yang pernah mengajar di Masjidil Haram, seperti Guru Mahmud Ramli, Menteng Dalam, memunculkan kekuatan yang dapat mengantisipasi skenario besar yang dirancang oleh dunia luar Islam, yaitu kaum penjajah, dengan warna kebencian Barat terhadap Islam.
Bila pada masa-masa itu di India orang mengenal Ahmadiyah, yang dimotori oleh penjajah Inggris, di Iran ada alirah Baha’iyyah, yang dimotori Rusia, di Indonesia muncul aliran-aliran yang dimotori oleh orientalis-orientalis seperti Snouck dan Vander Plast, yang dapat mengunci mati semangat perjuangan umat Islam.
Tapi kehadiran ulama-ulama Betawi bagaikan ikan yang terus hidup di laut tapi tidak pernah asin oleh asinnya air laut. Mereka mampu membentengi aqidah umat dengan istiqamah dan membuat warga Betawi tetap eksis dalam Islam.
Alhasil, setiap warga Betawi identik dengan pemeluk Islam. Sehingga menjadi aneh kalau, belakangan ini, ada orang mengaku asli Betawi tapi bukan muslim.
Peran Halaqah
Menurut Abdul Aziz dalam makalahnya, Peranan Islam dalam Pembentukan Identitas Kebetawian, kuatnya pengaruh Islam dan sentimen anti Barat pada pertengahan abad ke-19 dapat dilihat dari kaitannya dengan perkembangan dakwah Islam yang semakin meningkat, terutama dengan munculnya ulama terkemuka di kalangan orang Betawi. Mereka adalah para ulama yang dididik di masjid-masjid Betawi lalu menuntut ilmu lanjutan di Tanah Suci.
Para ulama tersebut adalah kelompok terdidik yang secara perorangan maupun kolektif memiliki kemampuan mengembangkan solidaritas di kalangan masyarakat Betawi. Sebagaimana umumnya para haji di wilayah lain di Nusantara yang mengobarkan semangat anti penjajahan, pengalaman para ulama itu selama di Tanah Suci serta dedikasi mereka dalam berdakwah sekembalinya ke tanah air telah menempatkan mereka sebagai kelompok elite yang mampu memobilisasi dukungan masyarakat melalui fatwa-fatwa keagamaan, menumbuhkan proses identifikasi yang kuat terhadap Islam, dan menolak identitas lain selain Islam, termasuk penjajah.
Dalam masa ini perkembangan syiar Islam semakin intensif. Hal ini terlihat dari jangkauan wilayah dakwah para ulama itu, keberhasilan anak didik mereka menjadi juru dakwah di daerah mereka sendiri, serta penyediaan bahan bacaan keagamaan dalam tulisan Arab Melayu.
Enam “Pendekar” Betawi
Jaringan intelektual para ulama itu menampakkan bentuknya yang lebih jelas di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, ketika sedikitnya enam orang ulama terkemuka berhasil melebarkan pengaruh keulamaan yang menjangkau hampir seluruh bagian Batavia. Jaringan keulamaan yang dikembangkan oleh enam “pendekar” itu kelak merupakan salah satu pilar kekuatan mereka sebagai kelompok elite yang diakui masyarakat.
Keenam ulama itu adalah K.H. Moh Mansur (Guru Mansur) dari Jembatan Lima, K.H Abdul Majid (Guru Majid) dari Pekojan, K.H. Ahmad Khalid (Guru Khalid) dari Gondangdia, K.H. Mahmud Romli (Guru Mahmud) dari Menteng Dalam, K.H Ahmad Marzuki (Guru Marzuki) dari Klender, dan K.H. Abdul Mughni (Guru Mugni) dari Kuningan.
Corak pendidikan para ulama tersebut, baik selama di tanah air maupun di Tanah Suci, sangat menentukan corak pemahaman Islam yang mereka sebar luaskan di kalangan orang Betawi. Ciri utama corak ini ialah kecenderungan yang kuat mempertahankan tradisi pemahaman Islam melalui khazanah intelektual sebagaimana terkandung dalam kitab-kitab klasik berbahasa Arab.
Sejalan dengan pengalaman belajar mereka di Tanah Suci yang umumnya berbentuk pengajian halaqah di masjid, model belajar dan materi yang diajarkan kepada murid-murid mereka di tanah air juga tidak berbeda jauh dari pengalaman belajar mereka sendiri.
Pendidikan model madrasah sebenarnya telah dikenal di Makkah dan Madinah sejak abad ke-12 dan terus berkembang hingga masa kedatangan orang-orang Islam dari Nusantara, tetapi tidak banyak ulama Betawi abad ke-19 yang memanfaatkan madrasah sebagai tempat menimba ilmu.
Menurut K.H. Ahmad Junaidi, seorang ulama Betawi terkemuka yang pernah tinggal di Makkah selama enam tahun, hanya sedikit ulama Betawi yang belajar di madrasah. Sebelum tahun 1933, orang Betawi yang belajar di madrasah biasanya masuk ke Madrasah Saulitiyah, milik orang India. Sesudah muncul Madrasah Darul Ulum, yang didirikan orang Palembang pada tahun 1933, kebanyakan orang Betawi yang ingin belajar di madrasah masuk ke sini.
Alasan utama madrasah tidak terlalu diminati antara lain terletak pada masa belajar yang panjang dan alasan keuangan. Mereka memandang, apa yang dilakukan halaqah-halaqah di Masjidil Haram jauh lebih ideal, karena pelajaran yang dipentingkan adalah penguasaan kitab kuning (klasik).
Silsilah Intelektual
Dalam kaitan ini, sangat penting bagi mereka silsilah intelektual. Salah satu prinsip yang mereka anut, al-isnad (sandaran intelektual) merupakan sebagian dari urusan agama, karena tanpa itu setiap orang akan merasa berhak mengatakan apa yang diinginkannya.
Sebagian besar ulama Betawi abad ke-19 yang belajar di Makkah berguru kepada sejumlah ulama yang memiliki isnad dengan ulama-ulama terkemuka di Makkah dan Madinah (Haramain) abad ke-17, seperti Ahmad Al-Qusyasyi dan Abdul Aziz Al-Zamzami. Di antara guru-guru mereka yang paling luas dikenal adalah Syaikh Mukhtar Atharid, Syaikh Umar Bajunaid, dan Syaikh Umar Sumbawa.
Mukhtar Atharid dan Umar Bajunaid memiliki isnad melalui Syaikh Abubakar Syatha Al-Dimyati, pengarang kitab I’anatut Thalibin. Sedangkan isnad Umar Sumbawa melalui Syaikh Abdullah As-Syarkawi, pengarang kitab Syarkawi. Kedua kitab tersebut merupakan kitab standar di kalangan ulama Indonesia.
Sebagian guru mereka tidak selalu memiliki isnad dengan ulama terkemuka di abad sebelumnya, namun mereka tetap memiliki isnad yang pada akhirnya bermuara kepada apa yang disebut oleh Guru Mansur sebagai Ma’dan al-Irfan, atau sumber ilmu pengetahuan, yaitu Rasulullah SAW. Demikian pula, para ulama Betawi abad ke-20 yang sempat bermukim di Haramain belajar kepada murid-murid para ulama Haramain yang pernah mengajar ulama Betawi di abad sebelumnya, sehingga isnad mereka tetap terpelihara.
Sebagaimana lazimnya tradisi halaqah, seorang ulama tidak pernah belajar hanya kepada satu guru, melainkan kepada banyak guru, sehingga terdapat isnad di mana sejumlah besar ulama Betawi pada kurun waktu tertentu belajar dari ulama yang sama dan menciptakan isnad yang bersifat kolektif, di samping ada pula isnad yang bersifat perorangan.
Berbeda dengan ulama di Jawa, yang pada umumnya mengembangkan pondok pesantren, para ulama Betawi tetap setia dengan model halaqah di masjid-masjid, sebagaimana mereka alami di Tanah Suci. Dari keenam ulama Betawi abad ke-19, hanya Guru Marzuki Klender yang mendirikan pesantren dengan santri mukim sekitar 50 orang, tapi kemudian tidak dapat bertahan sepeninggalnya.
Ulama lainnya yaitu Guru Mansur, yang sempat berkiprah mengajar di madrasah pertama di Batavia, Jamiat Kheir. Bukannya mendirikan pesantren, tetapi justru mendirikan Madrasah Perguruan Islam Al-Mansyuriah. Secara umum dapatlah dikatakan, para ulama Betawi yang lebih belakangan cenderung mengembangkan madrasah daripada pondok pesantren. Sehingga mereka memadukan penyelenggaraan madrasah dengan pengajian model halaqah di masjid.
Halaqah seorang ulama Betawi biasanya tidak terbatas di masjid yang berlokasi dekat rumahnya, tapi lebih dari itu, menjangkau ke berbagai tempat yang jauh. Contoh aktual K.H. Syafi’i Hadzami, salah seorang mua’llim Betawi yang disegani. Ia mempunyai 40-an halaqah di berbagai tempat.
Khusus tentang Mua’llim M. Syafi’i Hadzami ini, pada akhir Mei yang lalu diadakan seminar bertajuk Muallim Syafi’i Hadzami In Memoriam, yang menyigi pemikiran dan kiprah dakwahnya sehingga dia diakui sebagai ulama terkemuka yang berpengaruh.
Tiga Institusi Pendidikan Agama
Salah seorang muridnya, K.H. Syaifuddin Amsir, membawakan makalah Peran Halaqah dan Majelis Ta’lim di DKI Jakarta dalam Mencetak Ulama. Menurut Syaifuddin Amsir, di masyarakat Betawi, ada tiga jenis institusi pendidikan yang dijadikan tempat untuk mendidik anak-anak mereka di bidang agama. Yaitu pesantren, madrasah, dan majelis ta’lim (halaqah)
Khusus majelis ta’lim, ini merupakan instusi pendidikan yang memiliki fungsi strategis dalam memaksimalkan masjid sebagai tempat pendidikan umat. Hal ini dikarenakan sebagian besar majelis ta’lim dari dahulu sampai sekarang, khususnya di Betawi, menjadikan masjid sebagai tempat aktivitasnya, dan sangat berperan penting dalam melahirkan ulama Betawi yang mumpuni di bidangnya.
Salah satu contohnya, Mu`allim K.H. Syafi`i Hadzami,`allamah di bidang fiqih Asy-Syafi`i yang pengaruhnya sangat luas, bahkan sampai hari ini, baik di masyarakat Betawi maupun luar Betawi. Ia ulama produk asli dari binaan banyak halaqah dan majelis ta’lim di Betawi. Pada masa menuntut ilmu, tidak kurang dari 11 majelis ta’lim dengan 11 orang guru yang ia datangi dalam rangka menuntut berbagai disiplin ilmu agama. Setelah menjadi ulama, ia pun mengajar tidak kurang di 30 majelis ta’lim sampai akhir hayatnya.
Dari pengajaran majelis ta’limnya, terlahir ulama Betawi terkemuka, seperti K.H. Drs. Saifuddin Amsir, K.H. Maulana Kamal, K.H. Abdurrahman Nawi, dan lain-lain, yang mereka pun meneruskan pengajaran di majelis ta’lim, baik di tempat gurunya pernah mengajar, majelis ta’lim yang dibentuknya, maupun majelis ta’lim yang dimiliki pihak lain.
Tiga Kelebihan
Keberhasilan halaqah di Betawi dalam mencetak ulama paling tidak karena dua hal. Pertama, tidak adanya batasan waktu untuk menyelesaikan satu disiplin ilmu atau satu kitab. Kedua, anak didik atau murid mempunyai kebebasan waktu dan kesempatan untuk menanyakan dan menyelesaikan pelajaran yang tidak dia pahami kepada gurunya. Dan ketiga, anak didik atau murid langsung dihadapkan dengan kasus-kasus yang terjadi di masyarakat.
Walhasil, dalam beberapa kesempatan telah teruji bahwa lulusan majelis ta’lim memiliki pemahaman ilmu agama yang lebih mendalam daripada lulusan perguruan tinggi Islam. Bahkan menurut Mu`allim K.H. Syafi`i Hadzami, tidak sedikit sarjana bidang Islam yang bergelar doktor dan profesor menjadikan lulusan majelis ta’lim sebagai tempat untuk bertanya tentang masalah-masalah yang pelik di bidang ke-Islaman.
Ini sangat beralasan. Karena, jika dilihat dari kitab-kitab yang dibahas dan ditamatkan di majelis ta’lim, tidak banyak dikupas bahkan tidak pernah dibahas secara tuntas di perguruan tinggi Islam. Kitab-kitab yang diajarkan majelis ta’lim di Betawi antara lain Syarh Hidayah al-Atqiya`, Syarh al-Hikam, Kifayah al-Atqiya`, Anwar Masalik, Tanbih al-Mughtarrin, Minhaj al-`Abidin, Tanbih al-Mughtarrin (semuanya kitab tasawuf).
Kemudian Sab`ah Kutub Mufidah, Fath al-Mu`in, Bidayah al-Mujtahid, Mughni al-Muhtaj, Minhaj at-Tholibin, Al-Mahalli, Fath al-Qorib, Kifayah al-Akhyar, Fath al-Wahhab, Tuhfah at-Thullab (kitab fiqih). Lalu Riyadh ash-Sholihin, Shohih Bukhori, Shohih Muslim, Nail al-Awthar (kitab hadits).
Berikutnya, Tafsir Ibn Katsir, Tafsir an-Nasafi, Tafsir Munir (kitab tafsir), Tarikh Muhammad (kitab sejarah), Al-Itqon Fi `Ulum al-Qur`an (ilmu Al-Quran). Selain kitab-kitab di atas, di antara ulama Betawi yang mempunyai dan memimpin majelis ta’lim ada yang mengajarkan kitab hasil karyanya sendiri, seperti K.H. Muhadjirin Amsar Ad-Darry, yang mengarang syarah kitab fiqih Bulugh al-Maram yang diberi judul Mishbah adz-Dzulaam sebanyak delapan juz.
Walau ia telah wafat, kitab Mishbah adz-Dzulaam sampai sekarang tetap diajarkan di beberapa majelis ta’lim yang dipimpin oleh muridnya atau milik orang lain, baik di Bekasi, di Jakarta (misalnya di Madrasah Al-Wathoniyyah 9, pimpinan K.H. Shodri), maupun di daerah lainnya.
Selain itu, kitab Taysir (kitab tajwid), karangan K.H. Abdul Hanan Sa`id (almarhum), yang sampai sekarang masih diajarkan di Majelis Ta’lim Manhalun Nasyi`in, yang kini dipimpin oleh murid K.H. Ali Saman, dan di tempat-tempat lain. Juga kitab-kitab yang dikarang oleh Mu`allim K.H. Syafi`i Hadzami.
Kitab karangan ulama Betawi yang diajarkan hingga ke luar negeri sampai sekarang, seperti di Malaysia, adalah kitab ilmu falak, Sullam An-Nayrain, karangan Guru Manshur Jembatan Lima. Sedemikian pentingnya halaqah dan majelis ta’lim bagi umat Islam, khususnya masyarakat Betawi, sebagai salah satu tempat utama dan terpenting untuk mencetak ulama masa depan. Maka tentu menjadi keprihatinan melihat kondisi halaqah yang secara fisik tempatnya tidak memadai lagi untuk digunakan. Belum lagi semakin rendah kemampuan para murid dan penyelenggara untuk membiayai operasionalisasinya.
Sudut Spiritualitas dan Intelektualitas
Kini sudah saatnya segenap pihak terkait memperhatikan secara lebih serius dan mengambil tindakan nyata untuk menyelamatkan keberadaan halaqah atau majelis ta’lim di ibu kota. Mu`allim K.H. M. Syafi`i Hadzami sendiri menyadari hal ini dan telah melakukan upaya tersebut melalui program Arbai`in (pesantren) dan mendapat dukungan dan sambutan yang positif dari berbagai pihak terkait, terutama Departemen Agama.
Demikian juga Kiai Syaifuddin. Ia menawarkan sebuah konsep tentang lembaga yang diberi nama Zawiyah Jakarta/Betawi Corner. Keberadaan lembaga ini pernah dimaklumatkan pada saat miladnya dan juga milad Mu`allim K.H. M. Syafi`i Hadzami, tanggal 31 Januari 2009 lalu.
Istilah Zawiyah Jakarta, yang dalam bahasa Indonesia berarti “Sudut Jakarta”, sarat dengan makna sufistis. Zawiyah Jakarta adalah sudut spiritualitas yang diharapkan dapat mencerahkan dan membebaskan umat dari kesempitan hati yang berada di tengah-tengah pertarungan hidup dan bergulat dengan dengan segala persoalannya. Sudut spiritualitas yang menjadi rumah bagi siapa pun yang tersingkir dan merasa kalah oleh kekuatan dan tipu daya duniawi dan mendampingi mereka untuk mencapai derajat insan kamil.
Sedangkan Istilah Betawi Corner dicetuskan kemudian sebagai sudut intelektualitas yang melengkapi sudut spritualitas. Ini juga sebagai tandingan atau antitesa dari Sudut Amerika, American Corner, yang bercokol di berbagai kalangan universitas di Indonesia, yang ditengarai mempunyai agenda tersendiri untuk merusak Islam dan semua agama yang ada melalui liberalisme dan pluralisme agama.
Betawi Corner menjadi urgent karena melihat kondisi masyarakat Betawi sekarang ini yang sangat memprihatinkan. Dengan adanya Betawi Corner, diharapkan akan muncul ulama Betawi yang dapat berperan sama dengan para pendahulunya bahkan lebih, dan gagasan ini diharapkan dapat bersinergi dengan Jakarta Islamic Centre.
Adapun kegiatannya dimulai dari dua hal. Yaitu mengadakan isitighatsah Jakarta, istighatsah masyarakat dan ulama ibu kota, dan program Awwabin (program seperti Arbai`n tapi dilakukan ba`da maghrib).
Pemberdayaan Umat
Nama Betawi Corner kemudian disandingkan dengan nama Zawiyah Jakarta, sehingga menjadi Zawiyah Jakarta/Betawi Corner. Diharapkan, Zawiyah Jakarta/Betawi Corner dapat menjadi wadah pergerakan spriritualitas dan intelektualitas serta sebagai wadah pemberdayaan umat yang manfaatnya diharapkan tidak hanya dirasakan oleh masyarakat Betawi, tetapi juga oleh masyarakat luas.
Visi dan misi lembaga ini adalah menjadi pusat pergerakan spiritualitas, intelektualitas, dan pemberdayaan umat, khususnya untuk masyarakat Betawi.
Adapun fungsinya adalah, pertama, sebagai tempat pembinaan spiritualitas dan intelektualitas. Kedua, tempat untuk melakukan rekacipta kebudayaan Betawi yang Islami. Ketiga, tempat bertemu, berdiskusi, dan bermusyawarah bagi ulama dan masyarakat Betawi dan Jakarta untuk merespons persoalan-persoalan yang muncul.
Keempat, tempat yang melahirkan produk-produk pemikiran Islam kontemporer yang berpegang pada warisan khazanah Islam masa lalu. Kelima, tempat pembibitan dan pengkaderan ustadz-utadz muda Betawi yang diharapkan bisa menjadi ulama-ulama Betawi yang berkualitas, bukan saja untuk masyarakat Betawi, tetapi juga untuk kepentingan umat Islam secara keseluruhan di kemudian hari.
Keenam, sebagai tempat pemberdayaan masyarakat sehingga masyarakat Betawi khususnya tidak tertinggal di bidang pendidikan, sosial, dan ekonomi dengan akhlaq dan tingkat pemahaman ke-Islaman yang memadai.
Halaqah atau majelis ta’lim memegang peranan penting dalam mencetak ulama dan memperkukuh dakwah Islamiyah di tanah Betawi. Oleh karenanya diharapkan agar keberadaan halaqah dipertahankan dan mendapatkan perhatian khusus dari pihak-pihak terkait, khususnya Pemprov DKI Jakarta
Sumber: dari siapa ya? dari fesbuk dapatnya sih!