"Permisalan teman yang baik dan teman yang buruk ibarat seorang penjual minyak wangi dan seorang pandai besi. Penjual minyak wangi mungkin akan memberimu minyak wangi, atau engkau bisa membeli minyak wangi darinya, dan kalaupun tidak, engkau tetap mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan pandai besi, bisa jadi (percikan apinya) mengenai pakaianmu, dan kalaupun tidak engkau tetap mendapatkan bau asapnya yang tak sedap." (HR. Bukhari 5534 dan Muslim 2628).
Maka marilah kita berkumpul dengan orang-orang alim dan berilmu agama, sehingga kita semua akan mendapatkan kebaikan. (Berikut adalah artikel yang ditulis oleh Syekh Khalil, seorang warga negara AS yang masuk Islam, ta'lim di pesantren pimpinan Habib Umar bin Hafidz di Hadramaut, Tarim, pernah hadir 2 x ke Indonesia dan mengikuti perjalanan dakwah Majelis Rasulullah. Meski baru memeluk agama Islam dan menemui banyak rintangan dalam mendalami agama barunya, dan hanya beberapa kali bertemu dengan zlmarhum, ia begitu mengagumi dan banyak mendapatkan tauladan dari almarhum Habib Munzir bin Fuad Almusawa.)
Bismillahir Rahmanir Rahim,
"Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan dari segala ciptaan. Segala puji dan barokah bagi Guru dan Rasul kami Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan sahabat-sahabatnya.
Saya masih ingat pertama kali saya melihat Habib Munzir al-Musawa. Saat itu sekitar 3 tahun yang lalu. Saya baru saja belajar tentang habaib dari seorang teman, dan menghabiskan waktu saya mencari gambar-gambar Habib Umar dan Habib Kadhim di internet.
Saya ingat saat itulah pertama saya melihat foto Habib Munzir. Senyumnya berseri-seri, sambil memegang tasbih. Dia segera memukau saya sebagai seseorang yang memiliki keindahan dan cinta yang besar. Hatiku sangat ingin bertemu dengannya suatu hari nanti.
Pada bulan Desember 2012, Habib Umar mengundang saya untuk turut dengannya ke Indonesia. Sebagai orang Amerika, saya sedang mengalami masa-masa sulit untuk beradaptasi dengan kehidupan baru saya di Tarim dan saya fikir Habib (Umar) ingin agar saya melihat lebih banyak lagi ummat dan menghabiskan waktu bersamanya. Saya begitu bersemangat bisa melihat Indonesia dan Jakarta. Saya bertanya-tanya dalam hati jika saja saya dapat bertemu Habib Munzir. Perjalanan ke Indonesia akan menjadi sebuah pengalaman hidup yang berbeda.
Pada hari kedua saya di Indonesia, saya bangun untuk sholat Subuh di rumah Sayyid Mohsin al-Hamid. Setelah sholat Subuh, beberapa orang berkumpul disana, diantara mereka adalah Habib Munzir bin Fuad al-Musawa. Jantung saya berdegup kencang karena kegembiraan melihatnya. Saya berlari menghampirinya dan mengucapkan salam dan mengatakan kepadanya betapa gembiranya saya karena akhirnya dapat bertemu beliau. Ia tersenyum lebar dan saat saya membungkuk maju untuk mencium tangannya, ia mengagetkan saya dengan menarik tangan saya dan menciumnya terlebih dahulu. Saya masih ingat harum attar yang dikenakannya yang begitu wangi. Saya tahu bahwa ia seorang yang istimewa, namun pada saat itu saya tidak tahu seberapa istimewanya beliau....
Minggu itu adalah bulan maulid Rasulullah SAW, dan saya begitu terkejut dan kagum melihat lebih dari 100,000-200,000 orang berkumpul demi Rasul kita tercinta Nabi Muhammad SAW. Sementara di tempat kelahiran saya di Amerika, jika berhasil mengumpulkan 50-100 orang saja sudah dianggap maulid besar. Mata saya terbelalak kaget dan jantung saya berdegup kencang. Saat saya duduk di panggung dengan para shuyukh dan habaib, merasa terasing dan sangat canggung, teman saya menghampiri saya dan berkata "Habib ingin kamu berpidato." Saya bertanya habib yang mana, dia menjawab "dua-duanya." Saya kira mereka bermaksud pidato akhir minggu nanti mungkin setelah sholat jummah, jadi sambil lalu saya bertanya "buat kapan?" Diluar dugaan dan membuat saya sangat kaget dan ketakutan saat itu adalah jawaban teman saya Khalid, "Sekarang, jadi kamu sebaiknya cepat-cepat memikirkan sesuatu untuk dibicarakan, kamu berdiri 5 menit lagi." Saya sangat gugup dan panik, saya berucap "Apakah kamu yakin!?" dia kemudian memberi isyarat dengan mengarahkan kepalanya ke barisan depan. Saya membungkuk dan melihat ke barisan depan dan Habib Umar dan Habib Munzir dengan senyuman lebar menghiasi wajah mereka, menganggukkan kepalanya kepada saya. Saat itu saya rasa saya akan jatuh pingsan.
Saat tiba waktunya saya berdiri dan berpidato, Habib Munzir memperkenalkan saya sebagai Shaykh Khalil dari Amerika. Saya langsung berfikir "Oh tidak, dia fikir saya orang yang mengerti ilmu agama!" Saya sangat malu. Melihat begitu besarnya jumlah orang yang hadir, dan mereka mengira kalau saya seorang shaykh. Saya hanyalah murid yang baru belajar ilmu agama. Di negara asal saya, saya hanyalah seorang guru sekolah untuk mata pelajaran Sejarah Amerika dan Dunia, sama sekali bukan seseorang yang patut diberi gelar shaykh. Berbicara di hadapan 20 murid berbeda dengan berbicara di hadapan lebih dari 100,000+ orang! Ini adalah sebuah tantangan yang sangat besar, saya berfikir dalam hati... Saya melihat wajah saya di layar monitor besar dan juga wajah-wajah Habib Umar dan Habib Munzir, tersenyum layaknya para ayahanda yang bangga. Saya merasa tenang sejenak, tapi kemudian saya mulai tergagap dan kehilangan kata-kata, saat mencoba menggambarkan apa yang saya rasakan, sensasi yang luar biasa dapat berada di pertemuan besar yang agung dan berkah itu.
Saya ingat saat itu saya berucap bahwa Habib Umar, Habib Ali al-Jifri, dan Habib Kadhim as-Saggaf semuanya telah berkunjung ke Amerika dan Kanada dan saya mengatakan "InshAllah, Anda Habib Munzir, juga akan berkunjung berikutnya." Reaksi dari lebih dari 100,000 orang yang bersuka cita dengan ajakan saya kepada Habib Munzir untuk berkunjung dan melakukan dakwah di Amerika membuat saya tersenyum kagum karena saya menyaksikan betapa besarnya kecintaan mereka terhadap Habib Munzir. Saya ingat wajah Habib Umar saat itu. Saya juga ingat wajah Habib Munzir. Bagaimana bisa saya melupakan wajah yang sangat mulia itu.
Kemudian, dalam minggu itu setelah ?Habib Umar pulang, saya masih punya sisa tiga hari tinggal di Jakarta. Saya sangat bersemangat untuk berbicara dengan Habib Munzir di kantornya. Dia berujar betapa bahagianya dia dengan kedatangan saya dan ingin saya tinggal selama 6 bulan dan belajar di Majelis Rasulullah. Beliau akan menelfon Habib Umar di Tarim untuk meminta izin. Saat Habib Umar terdengar menjawab telfon, Habib Munzir langsung menggeser kursinya, jatuh berlutut dengan kedua tangannya terangkat ke atas dan berkata "Ya Mawlana, bagaimana saya dapat melayani tuan." Saya terkesima dengan intensitas budi pekerti dan adab dari Habib Munzir. Dia menyebut Habib Umar sebagai 'Mawlana, yaitu tuan, atau yang mulia. Dia menelfon untuk meminta izin namun yang pertama dia ucapkan adalah bagaimana ia dapat melayani Habib Umar. Saya tidak akan pernah lupa momen itu selama hidup saya. Saya tidak pernah melihat cinta dan bakti yang begitu dalam. Itulah Habib Munzir. Seorang yang memiliki cinta dan pengabdian yang murni.
Habib Umar mengatakan saya boleh saja tinggal namun saya akan ketinggalan pelajaran bahasa Arab di Darul Mustafa. Habib Munzir langsung berujar jika saya tidak boleh melewatkan pelajaran bahasa Arab dan meminta izin apakah saya boleh kembali lagi di bulan Januari untuk acara mawlid an-nabi. Izin diberikan dan saya akan kembali ke Tarim untuk sekitar sepuluh hari sebelum kembali lagi ke Jakarta. Hari-hari tersebut di Tarim terasa begitu lama karena saya rindu untuk kembali ke Jakarta dan bertemu lagi dengan Habib Munzir, Habib Muhammad al-Junayd dan seluruh keluarga dan team MR yang saya temui di Jakarta.
Kembali ke Jakarta selama 5 minggu semakin meningkatkan cinta saya terhadap Habib Munzir. Meski saya tidak melihatnya setiap hari, saya merasakan kehadirannya kemanapun saya pergi. Saya melihat banyak billboard dan umbul-umbul Majelis Rasulullah, saya melihat wajah beliau dimanapun saya berada. Saat saya bepergian, saya melihat wajahnya dalam hati dan fikiran saya. Ia selalu bersama saya kemanapun saya pergi. Saat saya bersamanya, beliau selalu meminta saya untuk duduk di sebelahnya. Saya sangat malu. Inilah saya, seorang Amerika yang masuk Islam, 32 tahun, bukan orang alim, bukan seorang shaykh, namun Habib Munzir memaksa saya untuk duduk disampingnya, dan juga untuk berbicara di maulid. Saya masih ingat saat saya melepaskan imamah (sorban) saya suatu hari dan Habib Munzir bertanya mengapa saya melakukannya, dan saya sampaikan padanya jika saya merasa tidak pantas dan tidak berhak mengenakannya, karena bukanlah seorang shaykh dan hanyalah seorang murid yang baru belajar. Beliau berkata bahwa saya harus mengenakannya, itu adalah sunnah dan saat orang Indonesia melihat seorang warga negara asing, apalagi orang Amerika, mengenakan imamah, itu akan mengingatkan orang untuk beribadah seperti halnya Nabi Muhammad SAW dan untuk mengikuti cara hidupnya, dan bukannya mengikuti cara duniawi. Saya kemudian mengenakannya kembali selama perjalanan saya disana, dan melakukannya dengan kebanggaan telah mengikuti sunnah Rasul SAW tercinta dan saya bepergian ke pulau Sulawesi dengan Habib Muhammad al-Junayd dan Sayyid Hilmi al-Kaf untuk berdakwah. Saya merindukan Habib Munzir dan ingin kembali ke Jakarta, namun beliau menginginkan agar saya bertemu dengan masyarakat disana mengajak mereka kembali ke Islam. Perjalanan dakwah tersebut unik dan mengesankan dalam segala hal.
Akhirnya, saat tiba waktunya saya harus kembali ke Tarim, saya bertemu lagi dengan beliau di kantornya. Saya masih ingat kesedihan yang terlihat di wajahnya. Inilah seorang lelaki, cucu keturunan langsung dari Rasulullah SAW, yang memikul tidak hanya Jakarta, namun beban seluruh Indonesia di pundaknya. Meski begitu banyak organisasi Islam dan habaib di Indonesia, tidak ada satupun yang memiliki dampak dan pengaruh yang begitu besar seperti Habib Munzir, terutama bagi kalangan anak muda. Terlihat dengan begitu banyaknya anak muda, pria dan wanita, anak-anak laki dan perempuan berkumpul dibawah kibaran bendera Majelis Rasulullah, dengan senyuman dan cinta di wajah mereka. Para pemuda yang dulunya frustasi dan tidak sadar kini kembali memanggil nama Allah SWT dan Rasul-Nya, Muhammad SAW. Kemanapun Habib Munzir pergi, terdapat senyuman dan kebahagiaan di sana. Itulah yang selalu dibawa Habib Munzir bersamanya: senyuman dan cinta.
Mengucapkan selamat tinggal adalah hal yang sangat sulit bagi saya. Saya ingat bagaimana beliau selalu berusaha mencium tangan saya saat saya mencium tangannya kapanpun kami bertemu. Saya ingat pelukannya. saya ingat kapanpun saya berbicara, beliau selalu memandang saya dengan kebahagiaan, pandangan seorang ayah yang bangga akan puteranya. Saya memperhatikan bagaimana perilakunya terhadap orang lain. Sangat lembut, sangat penuh perhatian. Pelukan terakhir itu lebih lama dan kuat. Saya ingat bahwa mata kami berdua berkaca-kaca, saya ingat tidak ingin melepaskan pelukan beliau. Saya memandang Habib Munzir dengan penuh cinta dan kekaguman. Meski beliau hanya 8 tahun lebih tua dari saya, saya melihatnya sebagai figur seorang ayah. Begitulah pembawaan diri beliau, jauh lebih tua, dengan segala kebijakan dan kecerdasannya.
Pengabdian umat terhadapnya sangatlah erat dan pribadi. Kemanapun Habib pergi, orang-orang menghargai dan menghormati beliau. Cara ia mengajak dan membawa emosi umat yang hadir, kekuatan doanya saat mereka menyerukan nama Allah. Saya belum pernah merasakan kekuatan yang begitu positif dan mengagumkan. Itu semua memberikan harapan bagi ummat. Figur seperti Habib Munzir adalah figur yang didambakan Ummat. Penduduk Indonesia memiliki ikatan unik dan pribadi pada Habaib. Mereka mencintai habaib dengan cara tersendiri yang tidak dilakukan orang lain dimanapun di dunia, namun Habib Munzir adalah Habib mereka. Putera bangsa mereka, yang menghidupkan kembali Islam di Indonesia. Berada diantara mereka, saya merasakan pengabdian itu terhadap beliau. Dalam waktu yang begitu singkat itulah, cinta saya terhadap Habib Munzir sudah sebesar ummatnya di Jakarta dan Indonesia. Saya merasa seolah-olah beliau adalah "Habib saya".
Kembali ke Tarim saya merasa seakan tersesat dan kehilangan. Saya telah menghabiskan tahun pertama tanpa mengikuti kelas bahasa Arab karena tingkat pengetahuan bahasa Arab saya masih terlalu rendah untuk bisa mengikuti sebuah kelas. Saya memiliki seorang pembimbing yang mempersiapkan saya untuk tahun ajaran berikutnya. namun saya tidak memiliki semangat, tidak memiliki ambisi. Saya merasa begitu kehilangan dan putus asa. Tahun ajaran baru telah dimulai beberapa minggu yang lalu, dan saya merasa terkucilkan. Semangat saya yang asalnya sudah sangat kecil menjadi tidak ada sama sekali. Saya telah menyerah dan tidak ada harapan untuk belajar. Aspirasi spiritual saya telah hilang. Namun, saya selalu mengingat Habib Munzir dalam setiap doa-doa saya. Setiap malam sebelum saya pergi tidur, saya berdoa untuk Habib Munzir, untuk kesuksesan dan agar segera sembuh dari sakitnya.
Saat saya diberi tahu bahwa Habib Munzir meninggal, saya tidak mau percaya akan hal itu, sama seperti Hazrat Umar (RA) saat mendengar berita meninggalnya Nabi Muhammad SAW. Saya segera mengirim pesan sms pada keluarga Habib Munzir, yaitu kakaknya Habib Ramzy dan iparnya Anwar, dan mereka langsung menelfon balik. Saat saya mendengar mereka menangis di telfon, saya baru percaya bahwa itu benar adanya. Hati saya seakan hancur berkeping-keping. Dunia seakan runtuh di sekitar saya. Perasaan yang sama saat saya mendengar ayah saya meninggal dunia bertahun-tahun yang lalu saat saya berusia 17 tahun. Saya berlari keluar pesantren Dar al mustafa dan jatuh terduduk menghadap dinding sambil menangis sejadi-jadinya. Saya tidak tahu apa yang difikirkan atau dirasakan. Habib Munzir telah tiada.
Semakin larut hari itu, ?tangisan saya semakin tak terbendung dan saya merasa begitu kehilangan. Saya tidak dapat masuk ke kelas, saya tidak dapat makan atau minum. Saya menangis dalam sholat. Saya tidak dapat melalui semenitpun tanpa merasakan kehilangan beliau yang menguasai hati dan fikiran saya. Para sahabat di pesantren berusaha menenangkan saya namun tidak ada yang dapat menghentikan airmata dan kepedihan ini.
Saya menulis artikel ini sehari setelah Habib Munzir (RA) meninggalkan dunia ini dan kembali kepada Allah SWT. Seperti yang telah saya ungkapkan sebelumnya, hanya beberapa minggu yang lalu tahun ajaran baru telah dimulai dan saya merasa kosong dengan tanpa ambisi untuk belajar atau menimba ilmu. Namun saya menulis surat hari ini dengan semangat baru untuk belajar. Ini karena meninggalnya Habib Munzir yang membuat himma (aspirasi spiritual) saya kembali pada saya, semangat dan ambisi saya telah kembali. Dan saya yakin Habib Munzir tengah mengawasi saya dan saya ingin membuatnya bahagia. Saya berniat pada waktu dekat nanti dapat memenuhi harapannya agar saya belajar di Majelis Rasulullah.
?Habib Munzir adalah saudara saya dalam Islam, dan sesama murid dari Habib Umar. Beliau adalah shaykh saya, dan dia adalah sahabat saya. Saat tengah menghadapi berita sedih kematian beliau kemarin, seorang teman saya menyampaikan kepada saya sebuah hadist yang diriwayatkan oleh ibu kita Aisyah (RA) mengenai jiwa tertentu yang terhubung erat sebelum penciptaan. Aku merasakan kenyamanan besar dalam mempelajari hadits ini. Meski saya tinggal di Jakarta hanya selama enam minggu, saya merasa seakan-akan saya telah dibesarkan dibawah tatapan penuh kasih Habib Munzir.
Habib Munzir memiliki senyum yang lembut dan berseri-seri, seakan menerangi ruangan manapun yang ia masuki. Suaranya yang berat dan berwibawa begitu kuat dan siapapun yang mendengarnya berbicara atau melantunkan du'a seakan terpikat olehnya. Beliau selalu berlemah lembut dan baik hati pada orang lain. Dan segala hal yang berhubungan dengan kakek buyutnya Rasulullah SAW, ia tidak pernah ragu-ragu untuk menyampaikan pesan dan hadits beliau. Segala hal yang dilakukan Habib Munzir adalah semata bagi Allah dan Rasul Nya SAW dan para shaykh kita. Di setiap Maulidnya, Habib Munzir selalu fokus dan begitu mudah terharu. Ia merasakan dan melihat Rasulullah SAW di setiap maulid. Penduduk Jakarta mencintainya. Mereka mengaguminya, mereka rela mati untuknya. Saya pun merasakan kekaguman luar biasa dan kecintaan mendalam terhadap beliau, dan saya siap mati tanpa ragu-ragu untuknya. Ingatan saya selalu kembali pada pikiran bagaimana jika saya telah belajar di sana selama enam bulan dan bukannya kembali ke Tarim. Namun Allah adalah Maha Penentu dan sebaik-baiknya perencana.
Kita semua telah banyak membaca kisah tentang orang-orang yang menghabiskan hanya sedikit waktu dengan seorang shaykh, namun hati mereka terbuka dan mereka merasakan perubahan dalam dirinya. Saya selalu menganggap kisah-kisah semacam itu hal yang mustahil di zaman sekarang ini. Hingga akhirnya saya bertemu dengan Habib Munzir al-Musawa barulah saya menyadari betapa momen seperti itu benar-benar ada dan terjadi. Hanya sesaat, cukup sebentar saja, tatapan dari salah seorang awliya dapat merubah segalanya. Tatapan ini dapat terjadi dalam kehidupan mereka, ataupun di kehidupan akhirat kelak. Saya merasakan tatapan Habib Munzir kepada saya dan saya merasakannya sekarang dan semakin dalam dan sering justru setelah beliau meninggal.
Saya tidak pernah berfikir bahwa saya dapat mengagumi dan mencintai seseorang seperti saya mencintai Habib Umar bin Hafiz. Saya memandang Habib Umar sebagai ayah yang mengadopsi saya. Di saat saya memandang Habib Umar, saya merasa seperti Hazrat Zayd (RA). Saya tidak pernah berfikir kalau seseorang bisa memiliki pengaruh yang sebegitu besar dalam hidup saya seperti pengaruh Habib Umar. Namun saat bertemu dengan Habib Munzir, seluruh dunia saya berubah. Tidak ada seorangpun yang memiliki cinta dan pengabdian terhadap shaykh mereka seperti yang ditunjukkan Habib Munzir kepada Habib Umar. Saya belum pernah melihat kepercayaan dan kepatuhan seperti itu. Seakan-akan saya melihat kisah Rumi dan Shams, mungkin begitulah gambaran kekuatan dan cinta antara sang Guru Mulia Habib Umar dan muridnya Habib Munzir. Terdapat ikatan khusus yang tidak bisa dimengerti oleh siapapun. Tidak perlu dipertanyakan lagi, Habib Munzir adalah salah satu yang paling dicintai oleh Habib Umar, dan oleh Allah SWT dan Rasulullah SAW.
Sejak beliau meninggal, begitu banyak yang datang menghampiri saya bertanya tentang Habib Munzir. Seperti apa orangnya, kisah-kisah tentangnya, dan berbagai kenangan lainnya. Baru sehari beliau meninggalkan kita, namun rasanya sudah bertahun-tahun lamanya. Saya merasa beruntung dan diberkati telah mengenalnya. Meski hanya dalam waktu yang singkat saya bersama beliau, saya merasa jauh lebih terhubung dengannya dibandingkan yang lain. Saya mengatakan ini semua tanpa keangkuhan dan kesombongan. Allah SWT memberkahi saya sehingga dapat bertemu dengan Habib Munzir. Saya tahu bahwa jiwa saya terhubung dengannya. Itulah hadiah paling mulia yang pernah saya terima dalam hidup saya. Habib Umar dan Habib Munzir sama-sama mulia bagi saya, dan suatu saat nanti saya berharap dapat berjalan dalam bayangan mereka. InshAllah Rahman.
Meninggalnya Habib telah menyelamatkan tidak hanya iman dan kepercayaan saya terhadap Allah dan Islam, ia telah menyelamatkan hidup saya. Saya berdoa semoga Habib Munzir mendapatkan surga firdaus dan dekat dengan kakeknya Rasulullah SAW. Saya berdoa bagi kita semua yang berkabung atas meninggalnya seseorang yang begitu kita cintai dan sayangi. Saya berdoa bagi anak-anak almarhum yang merupakan perwujudan dari kesejukan pandangan ayah dan ibunya. Saya berdoa semoga keluarganya dan mereka yang mencintainya meneruskan warisan, cita-cita dan perjuangan beliau. Saya berharap dan berdoa.
Saya berdoa semoga saya diberikan tawwasul Habib Munzir di yaumil qiyamat nanti. Saya berdoa dan berharap, agar diberikan niat dan iman yang kuat. Karena Anda, Ya Mawlana, Saya berdoa dan berharap.... " ~ Syekh Khalil, Tarim
Sumber: http://majelisrasulullah.org
Sumber: http://majelisrasulullah.org