CUPITEBET: rebana

JADIKAN RASULULLAH SAW SEBAGAI IDOLA

ads

Hot

Post Top Ad

Tampilkan postingan dengan label rebana. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label rebana. Tampilkan semua postingan

Kamis, 13 Agustus 2015

Hukum Rebana dalam Islam: Bolehkah untuk Dakwah?

13.01.00

Hukum Rebana dalam Islam: Bolehkah untuk Dakwah?


Pendahuluan

Maraknya majelis maulid dan shalawat yang menggunakan rebana sebagai pengiring memunculkan pertanyaan di kalangan umat Muslim: bolehkah rebana digunakan dalam Islam, khususnya untuk dakwah? Artikel ini akan mengkaji sejarah dan hukum penggunaan rebana berdasarkan dalil dan pandangan ulama, serta menjawab pertanyaan tersebut.

Sejarah Rebana dalam Islam

Rebana di Zaman Rasulullah

Rebana telah ada sejak zaman Rasulullah SAW. Beberapa riwayat menunjukkan bahwa Rasulullah SAW tidak melarang penggunaan rebana, bahkan membiarkannya dalam beberapa kesempatan.

Salah satu riwayat menceritakan tentang seorang wanita bernama شبيبة العرض (Shobihah al-'Arsy) yang menabuh rebana di samping Rasulullah SAW, dan beliau tidak melarangnya (غيث السحابة, hal. 68).

Riwayat lain mengisahkan tentang penyambutan Rasulullah SAW oleh para wanita Bani Najjar saat beliau tiba di Madinah. Mereka menabuh rebana dan melantunkan syair:

نَحْنُ جِوَارٌ مِنْ بَنِي النَّجَّارِ * يَا حَبَّذَا مُحَمَّدٌ مِنْ جَارِ

Nahnu jiwārun min Banī al-Najjār * Yā ḥabbadhā Muḥammadun min jār

(Terjemahan): Kami adalah tetangga dari Bani Najjar * Alangkah baiknya Muhammad sebagai tetangga

Rasulullah SAW menjawab, "Allah mengetahui bahwa aku mencintai kalian." (غيث السحابة, hal. 68)

Dalil-Dalil Kebolehan Rebana

Hadis tentang Rebana

Beberapa hadis menunjukkan kebolehan menabuh rebana, terutama dalam acara pernikahan dan perayaan hari raya. Salah satunya adalah:

أَعْلِنُوا النِّكَاحَ وَاضْرِبُوا بِالدُّفِّ

 A'linū al-nikāḥ wa idribū bi al-duff

Umumkanlah pernikahan dan pukullah rebana


Hadis ini secara jelas menyebutkan kebolehan menabuh rebana dalam acara pernikahan.

Pendapat Ulama tentang Rebana

Para ulama juga telah membahas hukum rebana. Imam Al-Ghazali dalam kitab Zawajir (juz 2, hal. 291) menyebutkan bahwa rebana diperbolehkan pada pernikahan, menyambut Idul Fitri atau Idul Adha, menyambut kedatangan seseorang, dan setiap kejadian yang menggembirakan.

Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitab Kaffu al-Ru'af (hal. 290-291) menyebutkan bahwa dalam Madzhab Syafi'i, penggunaan rebana diperbolehkan dalam pernikahan dan khitanan. Meskipun lebih utama ditinggalkan pada acara lain, pendapat yang lebih kuat menyatakan bahwa rebana mubah (boleh) digunakan dalam setiap perayaan.

Rebana sebagai Media Dakwah



Fenomena di Indonesia menunjukkan bahwa rebana telah menjadi media dakwah yang efektif. Majelis-majelis shalawat menggunakan rebana untuk menarik minat masyarakat dan menyampaikan pesan-pesan agama melalui lantunan shalawat yang diiringi rebana.

Hal ini sejalan dengan cara dakwah Wali Songo yang memanfaatkan kesenian dan budaya lokal sebagai media dakwah.

Kesimpulan

Berdasarkan dalil-dalil dan pendapat ulama, dapat disimpulkan bahwa penggunaan rebana dalam Islam adalah boleh, termasuk untuk dakwah. Namun, penggunaannya harus tetap memperhatikan adab dan etika Islam, serta tidak menyebabkan kemungkaran atau melalaikan kewajiban.

Referensi:

  • غيث السحابة (Goitsu As-Sahabah), Sayyidi Syeikh Muhammad Ba'atiyah
  • الْمُفَصَّل (Al-Mufasshal), juz 4, hal. 71
  • الفتاوى الهندية (Fatawa Al-Hindiyah), hal. 352
  • الزواجر عن اقتراف الكبائر (Zawajir), Imam Al-Ghazali, juz 2, hal. 291
  • كف الرعاع عن محرمات اللهو والسماع (Kaffu Ar-Ru'af), Ibnu Hajar al-Haitami, hal. 290-291
  • إيضاح الضلالة في حكم دف الصلاة (Idloh Adh-Dhalalah), hal. 44-45, 55

Semoga artikel ini bermanfaat!

-=-=-=-=-=-=-=-
Konten lama



"Bolehkah Penggunaan Rebana Sebagai Media Dakwah?"

Study dan Analisa akar sejarah dan Hukum Penggunanaan Rebana di dalam Islam.
Oleh: Moh. Nasirul Haq

Akhir-akhir ini semakin ramai dan digandrungi masyarakat yang tersebar
di berbagai daerah tentang adanya Majelis Maulid dan Shalawat, dimulai
dari Habib Syeh As-Segaf yang terkenal dengan Syekhermania, Majelis
Rasulullah, Ahbabul Musthofa, Riyadlul Jannah, Ar-Ridhwan, Syubbanul
Muslimin dan banyak lagi yang lainnya.

Dalam metode dakwahnya sangat simpel sekali dengan mengajak masyarakat
melantunkan lantunan Shalawat diiringi rebana dengan variasi tabuhan
yang menarik. Di sini saya akan menjelaskan mengenai hukum menabuh
rebana. Telah banyak Dalil yang menjelaskan kebolehan menabuh Rebana
atau Hadroh pada acara pernikahan,  khitan, penyambutan, Majelis dll.
Karena sebenarnya Rebana itu sendiri sudah ada semenjak zaman Nabi
Muhammad s.a.w.

Dikisahkan pernah suatu ketika Rasulullah didatangi seorang wanita
bernama Shobihah 'Arsy dan ia menabuh Rebana di samping Rasulullah
s.a.w. lantas Rasulullah s.a.w membiarkannya. Kisah lainnya tentang
penyambutan kepada Rasulullah oleh para wanita Bani Najjar saat datang
ke Madinah dan mereka menabuh rebana sembari menyanyikan dengan suara
keras syair :
نحن جوار من بني نجار * يا حبذا محمد من جار
"Kami adalah wanita dari Bani Najjar, Oh beruntungnya Muhammad sebagai
tetangga".
Nabi s.a.w lantas menjawab : "Allah Maha mengetahui bahwa aku mencintai kalian".
Hal ini tidak lain merupakan bentuk Ekspresi kebahagiaan dengan bisa
melihat Rasulullah s.a.w.

Sayyidi Syeikh Muhammad Ba'atiyah di dalam kitab Goitsu As-Sahabah
hal. 68 mengatakan:
"Dari Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam Ibnu Majah
dari Qais Bin Sa'ad Bin Ubadah bahwa Nabi s.a.w menabuh rebana dan
bernyanyi pada Idul Fitri ini diterangkan dalam Kitab Bahjatul
Mahafil, hal ini tak lain karena menunjukkan rasa kegembiraan".

Sementara pada hal. 69 disebutkan: "Bahwa para Sahabat dari kaum
wanita bernadzar jika Nabi kembali dalam kondisi selamat akan menabuh
rebana di hadapan Rasulullah sebagai bentuk kegembiraan. Kemudian
Rasulullah pun menyuruh agar mereka melaksanakan nadzarnya". Andai
saja rebana itu Makruh (apalagi Haram) maka Nabi tidak akan
menyuruhnya walaupun ia bernadzar. (Al-Mufasshal hal. 71, juz 4)

Dalam Hadits lain dijelaskan:
اعلنوا النكاح واضربوا بالدف
"Syarkanlah pernikahan dan tabuhlah dengan rebana".
Tentu Ulama telah sepakat akan kebolehan menabuh rebana, sebagaimana
DR. Wahbah Az-Zuhaili menyebutkan dalam Fiqh Al-Islami juz 3 hal. 574:
"Diperbolehkan menyenandungkan lagu yang mubah dan memukul rebana pada
pernikahan berdasarkan Hadits Nabi "Syiarkan pernikahan dan mainkanlah
rebana".

Rebana yang ada di Indonesia sudah sangat sesuai dengan ketentuan
Syariat apa lagi jika rebana tersebut digunakan sebagai Media Dakwah
dan Pemersatu Ummat melalui Shalawat.

Lantas Apakah kebolehan ini hanya khusus dalam acara pernikahan dan
penyambutan saja??

Suatu ketika Abu Yusuf pernah ditanya tentang rebana apakah
dimakruhkan pada selain pernikahan beliau menjawab: "Tidak
dimakruhkan". (Fatawa Al-Hindiyah hal. 352).

Selanjutnya dalam kitab Zawajir karya Imam Al-Ghazali juz 2 hal. 291:
"Bahwa rebana diperbolehkan pada pernikahan, menyambut Ied (hari
raya),  menyambut kedatangan,  dan setiap kejadian/keadaan yang
menggembirakan".

Ibnu Hajar berpendapat dalam Kitabnya Kaffu Ar-Ru'af hal. 290-291:
"Pendapat yang dijadikan pegangan pada Madzhab kita menyatakan halal
(penggunaan rebbana) dalam pernikahan dan khitan, akan tetapi afdhol
(lebih utama) meninggalkannya pada selain keduanya, sedangkan menurut
pendapat yang Ashoh (lebih shahih) dalam Minhaj dihukumi mubah dan
jelas-jelas kesunahannya pada setiap perayaan".

Sementara jika ada yang mempertanyakan dengan mengatakan bahwa rebana
hanya dilakukan oleh wanita maka Imam As-Subki menjawab bahwa pendapat
yang menyatakan rebana hanya khusus bagi wanita adalah pendapat yang
lemah.

Hal ini (kebolehan bermain rebana bagi laki-laki) juga dikuatkan
pernyataan dari Kitab Idloh Adh-Dhalalah hal. 44-45:
"Menabuh rebana hukumnya itu mubah (boleh) secara mutlak (tanpa syarat
dan ketentuan) walaupun dengan alat Jalajil (rebana khas arab) dan itu
sudah jelas kehalalannya dari keharamannya dan tidak ada bedanya
antara yang menabuh itu laki-laki maupun perempuan".

Pendapat ini sangat bagus sekali menjawab bagi yang mengatakan
kebolehan bermain rebana hanya untuk wanita semata, sebab kita lihat
dari segi bentuk jamak kata "اضربوا" kalau memang khusus wanita
semestinya memakai "اضربن". Ini sesuai dengan apa yang dikatakan Imam
Al-Ghazali pada kitab iIhya Ulumuddin.

Berlanjut pada komentar Uူama dalam kitab Idloh Adh-Dhalalah hal. 55
mengatakan hal yang sama bahwa rebana ini hukumnya mubah. Bahkan suatu
ketika Syeikh Karim Rojih bertanya pada Syeikh Mulla Romadlon Al-Buthi
perihal mengapa kita tidak mengharamkan rebana? lantas beliau
menjawab:
"Bagaimana bisa kita mengharamkan sesuatu yang dihalalkan Allah s.w.t."

Habib Ali Al-Habsyi berkata:
ماشي كما مجمع المولد يجل الكروب * ذا وقت توبتك يا عاص إذا باتتوب
"Tiada perkumpulan seperti Majelis Maulid yang bisa menghilangkan
kesusahan,  maka ini saatnya jika kalian ingin bertaubat duhai para
pendosa".

Sedangkan apa yang kita lihat dari fenomena yang ada di Indonesia, di
mana rebana menjadi sarana Dakwah yang sedang menjadi Trending Topic.
Jadi pada keseimpulannya cara dakwah ini seperti cara dakwah Wali
Songo di saat Gamelan menjadi alat musik yang digandrungi oleh
masyarakat pada masa itu, maka beliau memanfaatkannya sebagai sarana
dakwah.


*Moh. Nasirul Haq adalah Mahasiswa Fakultas Syariah di Imam Shafie
College, Hadhramaut - Yaman.

blog comments powered by Disqus SocialTwist Tell-a-Friend
Read More

Post Top Ad