Assalamu’alaikum wr. Wb.
Berikut Ketikan dari sebuah catatan yang diambil dari website Hotarticle
Perlu diketahui bahwa selain hadits-hadits yang terdapat dalam kitab Ash-Shahih, Al-Imam Al-Bukhari juga banyak meriwayatkan hadits. Para Imam seperti beliau tentu menghafizh ratusan ribu hadits, bahkan sejuta hadits.
Sudah menjadi kesepakatan para ulama hadits, bahwa bila suatu hadits disebutkan telah diriwayatkan oleh Al-Bukhari, berarti yang dimaksud adalah hadits yang terdapat di dalam kitab Ash-Shahih. Sedangkan yang tidak terdapat di dalam kitab itu, lazimnya harus disebutkan bahwa Al-Bukhari meriwayatkannya di dalam kitab lain. Jika suatu hadits memang terdapat di dalam kitab Shahih Bukhori atau Shahih Muslim, maka sudah dijamin 100% keshahihannya.
Siapa yang tidak kenal dengan Al-Imam Bukhari dan Muslim? Keduanya adalah ikon agama Islam yang telah memastikan keaslian agama Islam. Dan kitab Shahih Bukhari adalah kitab tershahih kedua setelah Al-Quran. Dan yang ketiga adalah Shahih Muslim.
Tak Tertulis Bukan Berarti Tak Shahih
Selama berabad-abad, bahkan hingga sekarang, baik Al-Qur’an maupun Hadits telah dipelihara melalui hafalan dari generasi ke genarasi. Di antara mereka yang telah banyak memelihara Hadits Nabi yang masih hidup saat ini adalah Al-Musnid Al-Habib Umar bin Muhammad Al-Hafizh. Beliau telah menghafal setidaknya 100 ribu hadits berikut sanadnya.
Jika kita menjumlahkan jumlah hadits dalam Kutubus Sittah, kita tidak akan mendapatkan jumlah hingga 100 ribu hadits. Lalu dari mana hadits yang beliau hafal? Hadits-hadits yang beliau hafal adalah hadits-hadits shahih yang beliau terima dari guru beliau, dari gurunya, dari gurunya hingga dari Imam Al-Bukhori. Hadits-hadits itu beliau hafal berikut sanadnya dari guru beliau hingga kepada Imam Al-Bukhori hingga kepada Nabi SAW.
Maka pahamlah bahwa hadits yang beliau riwayatkan, walau tak tercantum dalam kitab Shahih, namun bukan berarti tak shahih. Karena Imam Bukhori sendiri telah menghafizh setidaknya sejuta hadits. Dan tak semua hadits itu telah beliau bukukan.
Kemudian, jika satu hadits itu lemah bukan berarti hadits serupa itu lemah semuanya. Karena satu hadits dengan redaksi/matan yang sama bisa diriwayatkan dari beberapa jalur sanad. Melemahkan satu matan hadits dengan cara menyebutkan suatu sanad yang lemah merupakan cara ulama jahat untuk membodohi ummat. Dia mengungkapkan tak lebih dari 10 hadits dengan redaksi serupa yang sanadnya lemah. Padahal ada 100 hadits serupa yang sanadnya kuat. Atau dia melemahkan seorang rijal hanya karena beberapa haditsnya telah ditolak. Padahal para Imam telah menerima darinya ratusan hadits shahih dan hasan. Maka berhati-hatilah terhadap syubhat-syubhat yang mereka tebarkan.
Keshahihan Bukan Satu-Satunya Ukuran
Namun setiap nash hadits yang shahih tidak lantas berarti sudah menjadi hukum dan keputusan final. Sebab masih ada sekian masalah yang perlu diselesaikan.
1. Perbedaan Makna Lafazh.
Haditsnya shahih, namun secara makna, ternyata lafazhnya punya perbedaan makna. Maka sisi perbedaan makna ini masih akan menimbulkan perbedaan pendapat, setidaknya akan ada beberapa versi pendapat yang berbeda.
2. Masalah Nasakh dan Mansukh.
Boleh jadi ada hadits-hadits yang shahih, tapi belum tentu semuanya bisa diterima sebagai dalil hukum. Karena ada masalah nasakh dan mansukh. Maka hadits shahih yang keluar belakangan adalah yang diberlakukan sedangkan yang lebih dulu tidak berlaku.
3. Al-’Aam dan Al-Khaash.
Juga ada masalah ‘aam dan khaash, di mana kalau ada dua dalil yang bertentangan, padahal sama-sama shahih, harus dicari penjelasan mana yang merupakan dalil umum dan mana yang merupakan dalil khusus.
Para Mujtahid tidak hanya menghafal Al-Qur’an dan Hadits, tetapi juga memahami kaidah-kaidah yang telah dirumuskan para Mujtahid Muthlaq. Mujtahid dari kalangan Syafi’i menggunakan Ushul Fiqh Imam Syafi’i dalam berijtihad. Sedangkan Mujtahid dari kalangan Maliki menggunakan Ushul Fiqh Imam Malik dalam berijtihad. Sedangkan para ulama jahat dan para pengikutnya berijtihad tanpa menggunakan kaidah-kaidah yang benar. Hanya berdasar hawa nafsunya semata yang merasa diri telah pantas berijtihad. Maka berhati-hatilah terhadap ahlul ahwa.
Wallahu a’lam bishshawab.