Muhamad Yusup
18.12.00
Terkait Khilafah, Habib Umar bin Hafidz menjelaskan secara panjang yang Insya Allah mampu mengobati dahaga kaum Muslimin yang ingin mengetahui tentang Khilafah, apa yang terpenting bagi umat Islam dan bagaimana sikap umat Islam?. Berikut penjelasannya:
Tentang khilafah, kerancuan pada dua hal yang amat penting. Pertama, penyempitan makna khilafah, yang hanya pada pelaksanaan hukum Islam melalui kekuasaan. Yang kedua, pandangan atas wajibnya menegakkan khilafah ketika sudah ada pemerintahan di tengah-tengah umat.
Mengenai yang pertama, perlu ditegaskan bahwa kata “khilafah” bila dikaitkan dengan agama dan syariat, maknanya tak hanya terbatas pada konteks kekuasaan dengan segala penerapan hukum-hukum publik, sebagaimana makna khilafah secara etimologis yang memang jauh lebih luas.
Al Qur’an menggunakan kata ini, bahkan untuk orang yangberbuat buruk, orang yang menyimpang dari jalan yang benar, juga generasi yangdatang setelah para nabi dan rasul, seperti pada ayat,
فَخَلَفَ مِن بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيّاً
“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan mengikuti hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan.” (QS.19 : 59).
Jadi, mereka adalah generasi pengganti yang tinggal di tempat orang-orang sebelumnya, namun mereka tidak mengikuti prinsip dan perilaku generasi sebelumnya. Sehingga, makna khilafah adalah pergantian seseorang terhadap orang lain dalam konteks apapun.
Mengenai kaitan khilafah dengan urusan agama, juga perlu dipahami bahwa khilafah yang diagungkan dan dinyatakan Allah sebagai keistimewaan khusus Nabi Adam dan anak-cucunya, dalam firman-Nya,
إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأَرْضِ خَلِيفَةً
“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” (QS.2 : 30), adalah khilafah ruhaniah, keagamaan, dan ketuhanan, bukan sebatas otoritas politik yang mengatur urusan-urusan lahiriah.
Khilafah tersebut terkait erat dengan tugas mengemban amanah sesuai kapasitas dan kemampuan seseorang, dalam konteks menegakkan kebenaran, yaitu syari’at yang telah ditetapkan Allah pada makhluk-Nya. Inilah khilafah yang disinggung dalam Al-Qur’an, ketika meletakkan nenek moyang kita, Nabi Adam AS ke bumi,
فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُم مِّنِّي هُدًى فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقَى
“Maka jika datang kepadamu petunjuk dari-Ku, lalu barangsiapa mengikuti petunjuk-Ku, ia tak akan tersesat dan tidak akan celaka.”(QS.20 : 123).
Mengamalkan tuntutan Allah, melaksanakan perintah, dan menghindari larangan-Nya, itulah arti khilafah yang telah ditugaskan Allah kepada Nabi Adam. Nabi Adam turun padahal di bumi belum ada bangsa apapun yang bisa menjadi obyek kekuasaan. Ia hanya disertai Ibu Hawa. Lalu, mulai lahirlah putra-putra dari keluarga Adam. Ia menjalani posisinya sebagai orang pertama yang memegang khilafah sebelum adanya bentuk pemerintahan dan kekuasaan publik. Sejarah terus berlangsung dalam wilayah keluarga itu, yaitu Adam dan putra-putranya. Merekalah yang menghuni bumi.
Lalu keturunannya mulai banyak. Nabi Syits, putra AdamAS, menggantikannya memegang tampuk khilafah. Ia menerima kenabian dan amanat untuk melaksanakan ikrar manusia kepada Allah.
Khilafah merupakan tugas masing-masing diri kita. Tak ada alasan bagi siapapun untuk menganggap remeh hal ini, hingga melalaikan dan meninggalkannya lantaran ketiadaan simbol-simbol fisik khilafah (kekuasaan).