CUPITEBET

JADIKAN RASULULLAH SAW SEBAGAI IDOLA

ads

Hot

Post Top Ad

Rabu, 12 Agustus 2015

Bolehkah Penggunaan Rebana Sebagai Media Dakwah?

23.01.00
"Bolehkah Penggunaan Rebana Sebagai Media Dakwah?"
Study dan Analisa akar sejarah dan Hukum Penggunanaan Rebana di dalam Islam.
Oleh: Moh. Nasirul Haq

Akhir-akhir ini semakin ramai dan digandrungi masyarakat yang tersebar
di berbagai daerah tentang adanya Majelis Maulid dan Shalawat, dimulai
dari Habib Syeh As-Segaf yang terkenal dengan Syekhermania, Majelis
Rasulullah, Ahbabul Musthofa, Riyadlul Jannah, Ar-Ridhwan, Syubbanul
Muslimin dan banyak lagi yang lainnya.

Dalam metode dakwahnya sangat simpel sekali dengan mengajak masyarakat
melantunkan lantunan Shalawat diiringi rebana dengan variasi tabuhan
yang menarik. Di sini saya akan menjelaskan mengenai hukum menabuh
rebana. Telah banyak Dalil yang menjelaskan kebolehan menabuh Rebana
atau Hadroh pada acara pernikahan,  khitan, penyambutan, Majelis dll.
Karena sebenarnya Rebana itu sendiri sudah ada semenjak zaman Nabi
Muhammad s.a.w.

Dikisahkan pernah suatu ketika Rasulullah didatangi seorang wanita
bernama Shobihah 'Arsy dan ia menabuh Rebana di samping Rasulullah
s.a.w. lantas Rasulullah s.a.w membiarkannya. Kisah lainnya tentang
penyambutan kepada Rasulullah oleh para wanita Bani Najjar saat datang
ke Madinah dan mereka menabuh rebana sembari menyanyikan dengan suara
keras syair :
نحن جوار من بني نجار * يا حبذا محمد من جار
"Kami adalah wanita dari Bani Najjar, Oh beruntungnya Muhammad sebagai
tetangga".
Nabi s.a.w lantas menjawab : "Allah Maha mengetahui bahwa aku mencintai kalian".
Hal ini tidak lain merupakan bentuk Ekspresi kebahagiaan dengan bisa
melihat Rasulullah s.a.w.

Sayyidi Syeikh Muhammad Ba'atiyah di dalam kitab Goitsu As-Sahabah
hal. 68 mengatakan:
"Dari Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam Ibnu Majah
dari Qais Bin Sa'ad Bin Ubadah bahwa Nabi s.a.w menabuh rebana dan
bernyanyi pada Idul Fitri ini diterangkan dalam Kitab Bahjatul
Mahafil, hal ini tak lain karena menunjukkan rasa kegembiraan".

Sementara pada hal. 69 disebutkan: "Bahwa para Sahabat dari kaum
wanita bernadzar jika Nabi kembali dalam kondisi selamat akan menabuh
rebana di hadapan Rasulullah sebagai bentuk kegembiraan. Kemudian
Rasulullah pun menyuruh agar mereka melaksanakan nadzarnya". Andai
saja rebana itu Makruh (apalagi Haram) maka Nabi tidak akan
menyuruhnya walaupun ia bernadzar. (Al-Mufasshal hal. 71, juz 4)

Dalam Hadits lain dijelaskan:
اعلنوا النكاح واضربوا بالدف
"Syarkanlah pernikahan dan tabuhlah dengan rebana".
Tentu Ulama telah sepakat akan kebolehan menabuh rebana, sebagaimana
DR. Wahbah Az-Zuhaili menyebutkan dalam Fiqh Al-Islami juz 3 hal. 574:
"Diperbolehkan menyenandungkan lagu yang mubah dan memukul rebana pada
pernikahan berdasarkan Hadits Nabi "Syiarkan pernikahan dan mainkanlah
rebana".

Rebana yang ada di Indonesia sudah sangat sesuai dengan ketentuan
Syariat apa lagi jika rebana tersebut digunakan sebagai Media Dakwah
dan Pemersatu Ummat melalui Shalawat.

Lantas Apakah kebolehan ini hanya khusus dalam acara pernikahan dan
penyambutan saja??

Suatu ketika Abu Yusuf pernah ditanya tentang rebana apakah
dimakruhkan pada selain pernikahan beliau menjawab: "Tidak
dimakruhkan". (Fatawa Al-Hindiyah hal. 352).

Selanjutnya dalam kitab Zawajir karya Imam Al-Ghazali juz 2 hal. 291:
"Bahwa rebana diperbolehkan pada pernikahan, menyambut Ied (hari
raya),  menyambut kedatangan,  dan setiap kejadian/keadaan yang
menggembirakan".

Ibnu Hajar berpendapat dalam Kitabnya Kaffu Ar-Ru'af hal. 290-291:
"Pendapat yang dijadikan pegangan pada Madzhab kita menyatakan halal
(penggunaan rebbana) dalam pernikahan dan khitan, akan tetapi afdhol
(lebih utama) meninggalkannya pada selain keduanya, sedangkan menurut
pendapat yang Ashoh (lebih shahih) dalam Minhaj dihukumi mubah dan
jelas-jelas kesunahannya pada setiap perayaan".

Sementara jika ada yang mempertanyakan dengan mengatakan bahwa rebana
hanya dilakukan oleh wanita maka Imam As-Subki menjawab bahwa pendapat
yang menyatakan rebana hanya khusus bagi wanita adalah pendapat yang
lemah.

Hal ini (kebolehan bermain rebana bagi laki-laki) juga dikuatkan
pernyataan dari Kitab Idloh Adh-Dhalalah hal. 44-45:
"Menabuh rebana hukumnya itu mubah (boleh) secara mutlak (tanpa syarat
dan ketentuan) walaupun dengan alat Jalajil (rebana khas arab) dan itu
sudah jelas kehalalannya dari keharamannya dan tidak ada bedanya
antara yang menabuh itu laki-laki maupun perempuan".

Pendapat ini sangat bagus sekali menjawab bagi yang mengatakan
kebolehan bermain rebana hanya untuk wanita semata, sebab kita lihat
dari segi bentuk jamak kata "اضربوا" kalau memang khusus wanita
semestinya memakai "اضربن". Ini sesuai dengan apa yang dikatakan Imam
Al-Ghazali pada kitab iIhya Ulumuddin.

Berlanjut pada komentar Uူama dalam kitab Idloh Adh-Dhalalah hal. 55
mengatakan hal yang sama bahwa rebana ini hukumnya mubah. Bahkan suatu
ketika Syeikh Karim Rojih bertanya pada Syeikh Mulla Romadlon Al-Buthi
perihal mengapa kita tidak mengharamkan rebana? lantas beliau
menjawab:
"Bagaimana bisa kita mengharamkan sesuatu yang dihalalkan Allah s.w.t."

Habib Ali Al-Habsyi berkata:
ماشي كما مجمع المولد يجل الكروب * ذا وقت توبتك يا عاص إذا باتتوب
"Tiada perkumpulan seperti Majelis Maulid yang bisa menghilangkan
kesusahan,  maka ini saatnya jika kalian ingin bertaubat duhai para
pendosa".

Sedangkan apa yang kita lihat dari fenomena yang ada di Indonesia, di
mana rebana menjadi sarana Dakwah yang sedang menjadi Trending Topic.
Jadi pada keseimpulannya cara dakwah ini seperti cara dakwah Wali
Songo di saat Gamelan menjadi alat musik yang digandrungi oleh
masyarakat pada masa itu, maka beliau memanfaatkannya sebagai sarana
dakwah.


*Moh. Nasirul Haq adalah Mahasiswa Fakultas Syariah di Imam Shafie
College, Hadhramaut - Yaman.

blog comments powered by Disqus SocialTwist Tell-a-Friend
Read More

Minggu, 09 Agustus 2015

Ucapan "Sayidina" apakah salah?

21.29.00
"MENGKRITISI MUKTAMIRIN MUHAMMADIYAH 2015."
Oleh : M. Nasirul Haq
Mahasiswa S1 Fakultas Syariah, Imam Shafie College Hadhramaut - Yaman.

Pada acara Muktamar Muhammadiyah di Makasar terjadi keanehan yang
membuat kita Isykal (penuh tanda tanya). Pasalnya mereka
memperdebatkan MC yang mengucapkan lafadz "SAYYIDINA MUHAMMAD", bahkan
beberapa tokoh saat diwawancarai jawabannya kurang memuaskan,
nampaknya mereka tidak terbiasa mengucapkan penghormatan pada Kanjeng
Nabi.

Saya ingin menjelaskan kebolehan mengucapkan lafadz "Sayyidina" pada
Nabi Muhammad SAW, berikut selengkapnya :
Pertama kita harus tau apa arti kalimat Sayyid, dijelaskan dalam kitab
"Ghoytsus Sahabah" karya Sayyidi Syeikh Muhammad Ba'atiyah hal. 39,
dijelaskan bahwa:

"Kata Sayyid jika dimaknai secara mutlak, maka yang dimaksud adalah
Allah. Akan tetapi jika dikehendaki makna lain maka bisa bermakna:
1. Orang yang diikuti di kaumnya.
2. Orang yang banyak pengikutnya.
3. Orang yang mulia di antara relasinya."

Sementara pada hal. 37 disebutkan:
"Orang yang memimpin selainnya dengan berbagai kegiatan dan
menunjukkan tinggi pangkatnya".

Sedangkan di dalam Kitab "Ghoyatul Muna" hal. 32, Sayyidi Syeikh
Muhammad Ba'atiyah menyebutkan: "Sayyid ialah orang yang memimpin
kaumnya / banyak pengikutnya."

Dan masih banyak lagi makna lainnya, dari sini kita mulai bisa
mengerti makna beberapa Hadits yang ada lafadz Sayyid, misalnya:

-ﺍﻧﻬﻤﺎ ﺳﻴﺪﺍ ﺷﺒﺎﺏ ﺍﻫﻞ ﺍﻟﺠﻨﺔ
"Hasan dan Husein adalah pemimpin pemuda Ahli Surga"

-ﺍﻧﺎ ﺳﻴﺪ ﻭﻟﺪ ﺍﺩﻡ ﻳﻮﻡ ﺍﻟﻘﻴﺎﻣﺔ ﻭﻻ ﻓﺨﺮ
"Aku adalah pemimpin anak adam pada hari kiamat"

-ﺍﻧﺎ ﺳﻴﺪ ﺍﻟﻌﺎﻟﻤﻴﻦ
"Aku adalah pemimpin alam"

-ﻗﺎﻝ ﺍﻟﺒﻴﻬﻘﻲ ; ﻗﻮﻣﻮﺍ ﺍﻟﻰ ﺳﻴﺪﻛﻢ
Pada hadits ini Khottobi berkomentar tidak apa-apa mengatakan Sayyid
untuk memuliakan seseorang, akan tetapi makruh jika dikatakan pada
orang tercela.

Sementara dalam Kitab Al-Adzkar karya Imam An-Nawawi dalam catatan
kaki halaman 4 nomer 2, dikatakan bahwa: "Memutlakkan kata Sayyid pada
selain Allah itu boleh".

Dalam kitab Roddul Mukhtar diterangkan: "Disunnahkan mengucapkan
Sayyid karna Ziyadah Ikhbar Waqi' itu menunjukkan tatakrama dan itu
lebih baik dari meninggalkannya".

Lalu selanjutnya jika mereka para Muktamirin bertendensi dengan dua
hadits yaitu:
1. ﻻ ﺗﺴﻴﺪﻭﻧﻲ ﻓﻲ ﺍﻟﺼﻼﺓ
2. ﺍﻧﻤﺎ ﺍﻟﺴﻴﺪ ﺍﻟﻠﻪ
Maka saya akan menjawab dari kitab "Ghoyatul Muna" karya Sayyidi
Syeikh Muhammad Ba'atiyah dijelaskan pada hal. 32:
"Adapun hadits yang mengatakan "Jangan kau men-sayyid-kan aku dalam
Shalat", Hadits ini adalah Hadits yang tidak sah matan dan sanadnya,
adapun matannya gugur menurut Ahli Hadits, sementara matannya lafadz
ﺗﺴﻴﺪﻧﻲ itu tidak benar secara Nahwu karena yang benar lafadznya ﻻ
ﺗﺴﻮﺩﻭﻧﻲ sedangkan Rasulullah SAW adalah paling fasihnya orang orang
Arab."

Sementara dalam Kitab "Maqosid Hasanah" hal. 463 dikatakan:
"Hadits ini merupakan Hadits Maudlu' (palsu), itu tanggapan Al-Hafidz
As-Sakhowi bahwa hadits ini tidak ada asal usulnya. Dan salah dalam
lafadznya."

Sementara Hadits yang kedua akan saya jawab dari kitab "Zadul Labib"
karya Sayyidi Syeikh Muhammad Ba'atiyah juz. 1 hal. 9:
"Adapun Hadits yang diriwayatkan dari Abu Dawud dan Ahmad dari Hadits
Nabi SAW ﺍﻧﻤﺎ ﺍﻟﺴﻴﺪ ﺍﻟﻠﻪ yang dimaksud Siyadah disini adalah Siyadah
secara mutlak, maka fahamilah dan diteliti betul".

Jika anda masih mempertanyakan mengapa dalam Shalawat Ibrahimiyah pada
Tahiyyat ditambah Sayyidina dan pada Tasyahhud tidak ada Sayyidina?
Saya jawab: Mengatakan Sayyidina ini bertujuan memuliakan beliau. Dan
perlu diingat memuliakan dan tatakrama itu lebih baik dari pada
mengikuti perintah seperti Sayyidina Ali yang enggan menghapus kalimat
"Rasulullah" dan berkata: "Aku tak akan menghapusmu selamanya".
Pada saat itu Rasulullah tidak menyalahkan Sayyidina Ali. Begitu juga
Hadits Dlohhak dati Ibnu Abbas, bahwa dulu orang menyebut "Ya
Muhammad", "Ya Abal Qosim", lalu Allah melarang demi memuliakan
beliau.

Sementara jika yang anda permasalahkan dari ayatالله الصمد ; اي بمعنى
سيد maka jawaban saya dari Kitab "Ibanatul Ahkam" juz 1 hal. 346:
"Bahwa kalimat Sayyid itu memiliki dua makna: Yang pertama tiada
satupun yang mengungguli, dialah yang dituju manusia dalam segala
hajat dan keinginan mereka.Sementara makna kedua yaitu yg tidak
memiliki pencernaan yang mana ia tidak makan dan tidak minum".

Sementara dalam Syahadat, Ulama dalam memberikan penghormatan beragam
dan jika tidak ada kata Sayyid-nya pastilah ada kata pujian lain pada
kata sebelum dan sesudahnya, itu terbukti setelah kata Muhammad dalam
Syahadat ada kata pemuluaannya yaitu gelar "Utusan Allah", disanding
dengan lafadz Allah yang sekaligus pencipta alam semesta. Bukankah
Allah tidak akan menyandingkan namanya kecuali dengan kekasihnya?
Dalam Kaidah Fiqih sangat mashur sekali "مراعة الأدب خير من الإتباع".
"Menjaga tatakrama lebih utama dari ittiba' (melaksanakan perintah)".
Sekian dari kami dan kami mohon maaf sebelumnya.

blog comments powered by Disqus SocialTwist Tell-a-Friend
Read More

Post Top Ad