CUPITEBET

JADIKAN RASULULLAH SAW SEBAGAI IDOLA

ads

Hot

Post Top Ad

Jumat, 04 September 2015

Teuku Wisnu Meminta Maaf untuk Tayangan Hadiah Fatihah Bid’ah di Beriman Trans TV

03.46.00
JAKARTA, ARRAHMAH – Setelah membawakan  “Hadiah Bacaan Al-Fatihah itu BID’AH dan tidak sampai pahalanya ke mayit” di acara Beriman Trans TV, Teuku Wisnu menuai kecaman di akun Twitternya, @teukuwisnu2. Baca: Respon Netizen Pada Tayangan Hadiah Bacaan Fatihah Bid’ah di Program Beriman TransTV
Akun Zulfikri @abangdjoel misalnya yang menanggapi tayangan di Trans TV itu dengan minta agar Teuku Wisnu belajar agama lagi yang benar.
“@teukuwisnu2 belajar dulu mas yg bener. Jgn sok bener pake nyalahin amalan2 kami pengikut ahlus sunnah wal jamaah.” tulisnya
Senada, akun Ahmad Fauzi @sang_menara memberi pesan agar Teuku Wisnu tidak terlalu cepat membuat kesimpulan,
 jgn tll cepat memberi kesimpulan “tdk sesuai syariat” kalau br skdr tanya sna sni. Kmi jg brdiri diatas dalil bkn skdr ikut2an.” ujarnya
Menanggapi itu Teuku Wisnu mengucapkan maaf yang sebesarnya. Dari kasus ini dia belajar banyak. Dan mengucapkan terima kasih atas masukan para netizen.
“Iya akhi.. Afwan Ana memang salah.. Semoga Ana bisa mengambil hikmah dari pelajaran ini.. Syukron ya akhi.. ” Tulisnya

Twitter Teuku Wisnu
Twitter Teuku Wisnu

Inilah dalil yang membolehkan bacaan alfatihah kepada orang yang telah mati
sumber: kiswah

Bolehkah menghadiahkan pahala bacaan Al-Quran dan dzikir kepada orang yang telah mati?
Ya, itu dibolehkan. Madzhab yang benar dan terpilih menyatakan sampai­nya pahala bacaan dan amal-amal jas­mani lainnya kepada mereka, dan bah­wasanya karena itu pula mereka bisa men­dapatkan pengampunan atas dosa atau peningkatan derajat, cahaya, ke­gembiraan, dan pahala lainnya lantaran karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Apa dalilnya?
Dalilnya, Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam bersabda, “Ba­calah surah Yasin kepada orang-orang mati di antara kalian.” – Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Abu Daud (3121), Ibnu Majah (1448), dan lainnya, dari hadits Ma’qil bin Yasar Radhiyallohu ‘Anhu.
Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam juga bersabda, “Ya-Sin adalah jantung Al-Quran. Tidaklah seseorang membacanya dengan niat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menghendaki ne­geri akhirat melainkan Allah mengam­puninya. Dan bacakanlah ia kepada orang-orang mati di antara kalian.” – Diriwayatkan oleh Imam Ahmad (5: 26), An-Nasa’i dalam Al-Kubra (10914), dan lainnya.
Ulama ahli tahqiq menyatakan, ha­dits ini bersifat umum, mencakup bacaan kepada orang sekarat yang akan mati dan bacaan kepada orang yang sudah mati. Inilah pengertian yang jelas dari hadits di atas.
Hadits ini menjadi dalil bahwa baca­an tersebut sampai kepada orang-orang yang sudah mati dan adanya manfaat padanya sebagaimana yang disepakati para ulama. Perbedaan pendapat hanya berkaitan jika pembaca tidak berdoa setelahnya dengan doa semacam ini, misalnya, “Ya Allah, jadikanlah pahala bacaan kami kepada Fulan.”
Jika seesorang membaca doa ini se­bagaimana yang diamalkan kaum mus­limin, yang memberikan pahala bacaan mereka kepada orang-orang mati di an­tara mereka, tidak ada perbedaan pen­da­pat di antara ulama terkait sampainya bacaan itu, karena ia dikategorikan seba­gai doa yang disepakati tersampai­nya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Dan orang-orang yang datang sesudah mereka ber­doa, ‘Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami’.” – Qur’an Surat Al-Hasyr (59): 10.
Jika dia tidak berdoa demikian de­ngan bacaannya itu, menurut pendapat yang termasyhur dalam Madzhab Syafi’i, pahalanya tidak sampai. Namun ulama Madzhab Syafi’i generasi akhir menyata­kan, pahala bacaan dan dzikir sampai kepada mayit, seperti mazhab tiga Imam yang lain, dan inilah yang diamalkan umat pada umumnya. “Apa yang menu­rut kaum muslimin baik, itu baik di sisi Allah.” Ini adalah perkataan Ibnu Mas’ud Radhiyallohu ‘Anhu.
Sayyidil Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad, semoga Allah melimpahkan manfaat kepada kita lantarannya, mengatakan, “Di antara yang paling besar keberkah­annya dan paling banyak manfaatnya untuk dihadiahkan kepada orang-orang mati adalah bacaan Al-Quran dan meng­hadiahkan pahalanya kepada mereka. Kaum muslimin pun telah mengamalkan ini di berbagai negeri dan masa. Mayo­ritas ulama dan orang-orang shalih, salaf maupun khalaf, pun berpendapat demi­kian.” Silakan simak perkataan Al-Haddad Radhiyallohu ‘Anhu selengkapnya dalam Sabil al-Iddikar.
Dari Ibnu Umar Radhiyallohu ‘Anhu, ia mengatakan, “Jika salah seorang di antara kalian mati, janganlah kalian menahannya. Segera­kanlah ia ke kuburnya, dan hendaknya di­bacakan permulaan Al-Baqarah di dekat kepalanya, dan di dekat kedua kaki­nya dengan penutup Al-Baqarah.” – Disampaikan secara marfu’ (perkataan sahabat yang dinisbahkan sebagai per­kataan Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam) oleh Imam Ath-Thabarani dalam Al-Kabir (12: 444) dan Imam Al-Baihaqi dalam Asy-Syu’ab (7: 16) dari hadits Ibnu Umar Radhiyallohu ‘Anhu. Al-Baihaqi mengatakan, yang benar adalah bahwasanya itu adalah perkataan Ibnu Umar Radhiyallohu ‘Anhu.
Dalam kitabnya, Ar-Ruh, Ibnu Qayyim mengungkapkan adanya penyampaian pelajaran di atas kubur. Ia berhujjah, se­jumlah ulama salah berwasiat agar di­adakan bacaan pada kubur mereka, di antaranya adalah Ibnu Umar, yang ber­wasiat agar dibacakan surah Al-Baqarah pada kuburnya, dan bahwasanya kaum Anshar mengamalkan jika ada orang yang mati, maka mereka silih berganti ke kuburnya untuk membaca Al-Quran padanya (Ar-Ruh hlm. 10).
Ulama menyatakan, seseorang di­bolehkan menghadiahkan pahala amal­nya kepada orang lain, baik itu berupa bacaan maupun yang lainnya. Dalilnya, hadits yang diriwayatkan Amru bin Syu’aib, dari bapaknya, dari kakeknya, Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam, yang bersabda, “Dibolehkan bagi salah seorang di antara kalian, jika hendak bersedekah dengan sukarela, memberikannya kepada kedua orang­tuanya. Dengan demikian, kedua orang­tuanya mendapatkan pahala sedekah­nya dan ia pun mendapatkan seperti pa­hala kedua orangtuanya tanpa mengu­rangi pahala kedua orangtuanya sedikit pun.” – Disampaikan oleh Imam Ath-Thabrani dalam Al-Ausath (7: 92) dan Abu Syaikh Ibnu Hayyan dalam Thabaqat Al-Muhad­ditsin bi Ashbahan (3: 610).
Di antara hadits-hadits yang diriwa­yat­kan terkait hal ini, meskipun dhaif, telah ditetapkan di antara ulama hadits bahwasanya hadits dhaif dapat diamal­kan terkait fadhail al-a’mal, keutamaan-keutamaan amal.
ZiarahGusDur020110-1
Apa hukum bacaan Al-Quran kepada mayit dan di atas kubur?
Imam Syafi’i Rahimahullah menyatakan, dianjurkan membaca ayat apapun dari Al-Quran di dekat kubur. Jika mereka mengkhatamkan Al-Quran seluruhnya, itu baik. Ini disebutkan oleh Imam An-Nawawi dalam Riyadh Ash-Shalihin dan dalam Al-Adzkar.
Apa dalil yang membolehkannya?
Dalilnya, sebagaimana yang baru saja disampaikan di atas, perkataan Ibnu Umar Radhiyallohu ‘Anhu, “Jika salah seorang di antara kalian mati, janganlah kalian menahan­nya. Segerakanlah ia ke kuburnya, dan hendaknya dibacakan permulaan Al-Ba­qarah di dekat kepalanya, dan di dekat kedua kakinya dengan penutup Al-Baqarah.”
Hadits marfu’ juga telah disampaikan sebelum ini, “Bacalah Ya-Sin kepada orang-orang yang mati di antara kalian.” Sebagian ulama hadits menafsirkannya pada makna sebenarnya, sebagaimana ini cukup jelas dari lafal hadits. Semen­tara sebagian yang lain menafsirkannya pada makna kiasan. Maksudnya, orang yang sudah mendekati kematiannya. Namun masing-masing makna dimung­kinkan. Dan seandainya kedua makna ini sama-sama diamalkan, itu lebih baik.
Al-Khallal meriwayatkan dari Sya’bi, ia mengatakan: “Jika di antara kaum Anshar ada orang yang mati, mereka silih berganti ke kuburnya untuk mem­baca Al-Quran. Demikian. Kaum muslim­in pun masih tetap membaca Al-Quran kepada orang-orang mati sejak masa kaum Anshar”.
Dari semua penjelasan di atas dapat diketahui bahwasanya bacaan Al-Quran di atas kubur merupakan anjuran syari’at. Allah lebih mengetahui.
Apa makna firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Dan tidaklah manusia mendapatkan kecuali apa yang diusahakannya.” – Quran Surat An-Najm (53): 39, dan sabda Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam, “Jika manusia mati, terputuslah amalnya”?
Dalam kitab Ar-Ruh, Ibnu Qayyim mengatakan, Al-Quran tidak menafikan seseorang mendapatkan manfaat dari usaha orang lain, tetapi Al-Quran hanya memberitahukan bahwasanya ia tidak memiliki kecuali usahanya. Adapun usaha orang lain, itu adalah milik orang yang melakukannya. Orang lain itu dapat menghendaki memberikannya kepada orang lain atau menghendaki menahan­nya untuk dirinya sendiri. Dalam hal ini, Allah SWT tidak menyatakan “Sesung­guhnya dia tidak boleh menerima man­faat kecuali lantaran apa yang diusaha­kannya sendiri.”
Sabda Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam, “Terputuslah amal­nya.” Beliau tidak menyatakan “Peman­faatannya”, tetapi beliau hanya memberi­tahukan ihwal keterputusan amalnya. Ada­pun amal orang lain, itu menjadi hak orang yang melakukannya. Jika ia mem­berikannya kepadanya, pahala amal orang yang melakukannya sampai ke­padanya, bukan pahala amalnya sendiri. Dengan demikian, yang terputus adalah satu hal, dan yang sampai adalah hal lainnya. Demikian yang disampaikannya secara ringkas (Kitab Ar-Ruh halaman 129).
Ulama tafsir menyebutkan dari Ibnu Abbas Radhiyallohu ‘Anhu, firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Dan se­sungguhnya manusia tidak mendapat­kan kecuali apa yang diusahakannya” – Quran Surat An-Najm (53): 39, telah dihapus hu­kumnya dalam syari’at ini dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Dan orang-orang yang ber­iman, beserta anak-cucu mereka yang mengikuti mereka dalam keimanan, Kami pertemukan mereka dengan anak-cucu mereka.” – Quran Surat Ath-Thur (52): 21. Allah memasukkan anak-cucu ke dalam surga lantaran kebajikan leluhur mereka. (Lihat Tafsîr Al-Qurthubi (17: 114)).
Ikrimah mengatakan, itu terjadi pada kaum Musa ‘Alaihis Salam. Adapun umat ini menda­patkan apa yang mereka usahakan dan mendapatkan pula apa yang diusahakan oleh yang lain. Ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan bahwa seorang wa­nita mengangkat bayinya dan bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah anak ini men­dapatkan pahala haji?”
Beliau menjawab, “Benar, dan bagi­mu pahala.” – Hadits ini disampaikan oleh Imam Muslim (1336) dan lainnya, dari hadits Ibnu Abbas Radhiyallohu ‘Anhu.
Yang lainnya bertanya kepada Nabi SAW, “Ibuku terluputkan dirinya (mati tanpa wasiat), apakah ia mendapatkan pahala jika aku bersedekah atas nama dia?”
Beliau menjawab, “Benar.” – Hadits ini disampaikan oleh Imam Al-Bukhari (1322) dan Muslim (1004) dari hadits Aisyah Radhiyallohu ‘Anha.
Perkataan penanya, “terluputkan”, kata ini diucapkan terkait orang yang mati secara tiba-tiba, dan diucapkan pula terkait orang yang tewas oleh jin dan gangguan. “Dirinya,” menurut Imam Na­wawi, “kami menulisnya dengan harakat fathah dan dhammah nafsaha dan naf­suha, dengan nashab dan rafa’. Bacaan rafa’ dengan maksud sebagai obyek yang tidak disebutkan subyeknya. Nashab dengan maksud sebagai obyek kedua.” – Syarh Muslim (7: 89-90).
Demikian, Allah lebih mengetahui.
hb zein bin smith2
Apa hukum bacaan Al-Fatihah dan bacaan kepada mayit serta tawasul dengannya untuk penerimaan doa?
Ketahuilah, di antara yang terbesar keberkahannya dan terbanyak manfaat­nya untuk dihadiahkan kepada orang-orang mati adalah bacaan Al-Quran Al-‘Adzim dan menghadiahkan pahalanya kepada mereka. Mayoritas ulama dan orang-orang shalih, baik salaf maupun khalaf, berpendapat demikian, dan kaum muslimin di berbagai masa dan negeri pun mengamalkannya. Dalam hadis marfu’ yang telah disampaikan terdahulu dinyatakan, “Jantung Al-Quran adalah Ya-Sin. Tidaklah seseorang membaca­nya dengan niat kepada Allah dan meng­hendaki negeri akhirat melainkan ia di­ampuni. Hendaknya kalian membaca­nya kepada orang-orang mati di antara kalian.”
Diriwayatkan dalam hadits dhaif, “Siapa yang masuk pemakaman dan mem­baca ‘Katakanlah: Dialah Allah Yang Esa’ sebelas kali, kemudian mem­berikan pahalanya kepada orang-orang mati, ia diberi pahala sesuai dengan jum­lah orang-orang yang mati.” Diriwayat­kan oleh Imam Ar-Rafi’i dalam kitabnya At-Tarikh dan Ad-Daraquthni dalam kitab­nya As-Sunan.
Adapun tawasul dengan surah Al-Fatihah terkait penerimaan doa, ini se­baik-baik wasilah. Pada hakikatnya, itu hanyalah tawasul dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dalam hadits qudsi dikatakan, “Aku membagi shalat antara Aku dan hamba-Ku dua bagian, dan bagi hamba-Ku apa yang dia minta.” Disampaikan oleh Imam Muslim dalam kitabnya Shahîh Muslim (598) dari hadits Abu Hurairah Radhiyallohu ‘Anhu.
Oleh: Sayyidil Habib Zein bin Smith Ba’alwi Madinah, Ketua Umum Rabithah Alawiyah/ Mustasyar PBNU dalam tanya jawab yang dimuat Majalah Al Kisah/ Sufi Road).

blog comments powered by Disqus SocialTwist Tell-a-Friend
Read More

Kamis, 27 Agustus 2015

FAHAM ASH'ARY DAN MATURIDI SEBAGAI FAHAM YANG DIANUT OLEH PARA PAKAR ISLAM

23.46.00
"FAHAM ASH'ARY DAN MATURIDI SEBAGAI FAHAM YANG DIANUT OLEH PARA PAKAR ISLAM"

Oleh : Aniq Muthi'ah S.Pdi
Alumni Sekolah Tinggi Agama Islam Tribakti kediri.

Faham Ash'ary dan Maturidi merupakan faham yang dianut oleh mayoritas ummat islam di dunia. Faham Ashary dan Maturidi sudah teruji kebenarannya dalam membentengi akidah kita seperti yang diajarkam Rosululloh S.A.W 

Banyak sekali ulama yang menjadi penganut faham Ashari dan Maturidi Bahkan Al Imam Abdulloh Al haddad tarim berkata dalam Nailul Marom Hal.8 ; 
"ketahuilah bahwa faham Ash'ary Dalam kepercayaannya adalah faham yang dianut ummat islam serta para ulama adalah orang yang bernisbat kepada mereka yang mengikuti Toriqoh nya orang orang yang menjadi pakar ilmu sepanjang masa, yang mana mereka menjadi imam dalam ilmu tauhid, ilmu teologi, tafsir, Qiro'ah,  Fiqh,  Ushul Hadits, tashowwuf , Bahasa dan sejarah".
Read More

Rabu, 12 Agustus 2015

Apakah Habib Harus Diistimewakan ?

23.24.00
Muslimedianews.com ~ Masalah mahabbah ahlil bait, Nabi yang memerintahkan, Nabi tidak minta apapun, kecuali "bagaimana engkau bisa menyambung tali kasih". Nabi tidak mengatakan "beri uang atau lainnya", tetapi mawaddah terlebih dahulu. Kalau ada mawaddah, ada cinta, akan beres semuanya.

Disaat Habib salah, bagaimana menyikapinya. Jadi mawaddah didahulukan. Dalam hadits dikatakan waktu Nabi memegang Sayyidina Husein dan mencium bibir Sayyidina Husein, mengatakan "Ya Allah, aku mencintai Husein dan cintailah Husein, cintailah yang mencintai Husein dan dzuriyyah (keturunan)nya".Jadi ada mahabbah (cinta). Memang, ada habib yang nakal, itu dia manusia memang, cuma cinta tidak boleh berubah, sampai ada rasa dengki. Kita pernah tanya kepada Habib Abdullah bin Muhammad Baharu tentang bagaimana menyikapi jika ada Habaib yang tidak benar / nakal. Habib mengatakan "Pandang dia seperti melihat anakmu...". yaitu dibenahi. Kita akan berjuang untuk menyelamatkan, kita tolong kalau cinta. Kalau salah tetap kita katakan salah, tetapi dengan cara yang baik agar Habib yang nakal tersebut kembali ke jalan yang Allah ridloi dengan cinta. Terhadap umat Nabi Muhammad saja kita harus membawa mereka dengan cinta, lalau bagaimana dengan Habaib, tentu lebih dengan kasih dan cinta. Jangan menggunjing Habaib sampai terjadi kebencian terhadap Habaib. ***
Penjelasan Buya Yahya lebih lengkapnya, simak video berikut :






oleh : Ibnu L' Rabassa
blog comments powered by Disqus SocialTwist Tell-a-Friend
Read More

Bolehkah Penggunaan Rebana Sebagai Media Dakwah?

23.01.00
"Bolehkah Penggunaan Rebana Sebagai Media Dakwah?"
Study dan Analisa akar sejarah dan Hukum Penggunanaan Rebana di dalam Islam.
Oleh: Moh. Nasirul Haq

Akhir-akhir ini semakin ramai dan digandrungi masyarakat yang tersebar
di berbagai daerah tentang adanya Majelis Maulid dan Shalawat, dimulai
dari Habib Syeh As-Segaf yang terkenal dengan Syekhermania, Majelis
Rasulullah, Ahbabul Musthofa, Riyadlul Jannah, Ar-Ridhwan, Syubbanul
Muslimin dan banyak lagi yang lainnya.

Dalam metode dakwahnya sangat simpel sekali dengan mengajak masyarakat
melantunkan lantunan Shalawat diiringi rebana dengan variasi tabuhan
yang menarik. Di sini saya akan menjelaskan mengenai hukum menabuh
rebana. Telah banyak Dalil yang menjelaskan kebolehan menabuh Rebana
atau Hadroh pada acara pernikahan,  khitan, penyambutan, Majelis dll.
Karena sebenarnya Rebana itu sendiri sudah ada semenjak zaman Nabi
Muhammad s.a.w.

Dikisahkan pernah suatu ketika Rasulullah didatangi seorang wanita
bernama Shobihah 'Arsy dan ia menabuh Rebana di samping Rasulullah
s.a.w. lantas Rasulullah s.a.w membiarkannya. Kisah lainnya tentang
penyambutan kepada Rasulullah oleh para wanita Bani Najjar saat datang
ke Madinah dan mereka menabuh rebana sembari menyanyikan dengan suara
keras syair :
نحن جوار من بني نجار * يا حبذا محمد من جار
"Kami adalah wanita dari Bani Najjar, Oh beruntungnya Muhammad sebagai
tetangga".
Nabi s.a.w lantas menjawab : "Allah Maha mengetahui bahwa aku mencintai kalian".
Hal ini tidak lain merupakan bentuk Ekspresi kebahagiaan dengan bisa
melihat Rasulullah s.a.w.

Sayyidi Syeikh Muhammad Ba'atiyah di dalam kitab Goitsu As-Sahabah
hal. 68 mengatakan:
"Dari Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam Ibnu Majah
dari Qais Bin Sa'ad Bin Ubadah bahwa Nabi s.a.w menabuh rebana dan
bernyanyi pada Idul Fitri ini diterangkan dalam Kitab Bahjatul
Mahafil, hal ini tak lain karena menunjukkan rasa kegembiraan".

Sementara pada hal. 69 disebutkan: "Bahwa para Sahabat dari kaum
wanita bernadzar jika Nabi kembali dalam kondisi selamat akan menabuh
rebana di hadapan Rasulullah sebagai bentuk kegembiraan. Kemudian
Rasulullah pun menyuruh agar mereka melaksanakan nadzarnya". Andai
saja rebana itu Makruh (apalagi Haram) maka Nabi tidak akan
menyuruhnya walaupun ia bernadzar. (Al-Mufasshal hal. 71, juz 4)

Dalam Hadits lain dijelaskan:
اعلنوا النكاح واضربوا بالدف
"Syarkanlah pernikahan dan tabuhlah dengan rebana".
Tentu Ulama telah sepakat akan kebolehan menabuh rebana, sebagaimana
DR. Wahbah Az-Zuhaili menyebutkan dalam Fiqh Al-Islami juz 3 hal. 574:
"Diperbolehkan menyenandungkan lagu yang mubah dan memukul rebana pada
pernikahan berdasarkan Hadits Nabi "Syiarkan pernikahan dan mainkanlah
rebana".

Rebana yang ada di Indonesia sudah sangat sesuai dengan ketentuan
Syariat apa lagi jika rebana tersebut digunakan sebagai Media Dakwah
dan Pemersatu Ummat melalui Shalawat.

Lantas Apakah kebolehan ini hanya khusus dalam acara pernikahan dan
penyambutan saja??

Suatu ketika Abu Yusuf pernah ditanya tentang rebana apakah
dimakruhkan pada selain pernikahan beliau menjawab: "Tidak
dimakruhkan". (Fatawa Al-Hindiyah hal. 352).

Selanjutnya dalam kitab Zawajir karya Imam Al-Ghazali juz 2 hal. 291:
"Bahwa rebana diperbolehkan pada pernikahan, menyambut Ied (hari
raya),  menyambut kedatangan,  dan setiap kejadian/keadaan yang
menggembirakan".

Ibnu Hajar berpendapat dalam Kitabnya Kaffu Ar-Ru'af hal. 290-291:
"Pendapat yang dijadikan pegangan pada Madzhab kita menyatakan halal
(penggunaan rebbana) dalam pernikahan dan khitan, akan tetapi afdhol
(lebih utama) meninggalkannya pada selain keduanya, sedangkan menurut
pendapat yang Ashoh (lebih shahih) dalam Minhaj dihukumi mubah dan
jelas-jelas kesunahannya pada setiap perayaan".

Sementara jika ada yang mempertanyakan dengan mengatakan bahwa rebana
hanya dilakukan oleh wanita maka Imam As-Subki menjawab bahwa pendapat
yang menyatakan rebana hanya khusus bagi wanita adalah pendapat yang
lemah.

Hal ini (kebolehan bermain rebana bagi laki-laki) juga dikuatkan
pernyataan dari Kitab Idloh Adh-Dhalalah hal. 44-45:
"Menabuh rebana hukumnya itu mubah (boleh) secara mutlak (tanpa syarat
dan ketentuan) walaupun dengan alat Jalajil (rebana khas arab) dan itu
sudah jelas kehalalannya dari keharamannya dan tidak ada bedanya
antara yang menabuh itu laki-laki maupun perempuan".

Pendapat ini sangat bagus sekali menjawab bagi yang mengatakan
kebolehan bermain rebana hanya untuk wanita semata, sebab kita lihat
dari segi bentuk jamak kata "اضربوا" kalau memang khusus wanita
semestinya memakai "اضربن". Ini sesuai dengan apa yang dikatakan Imam
Al-Ghazali pada kitab iIhya Ulumuddin.

Berlanjut pada komentar Uူama dalam kitab Idloh Adh-Dhalalah hal. 55
mengatakan hal yang sama bahwa rebana ini hukumnya mubah. Bahkan suatu
ketika Syeikh Karim Rojih bertanya pada Syeikh Mulla Romadlon Al-Buthi
perihal mengapa kita tidak mengharamkan rebana? lantas beliau
menjawab:
"Bagaimana bisa kita mengharamkan sesuatu yang dihalalkan Allah s.w.t."

Habib Ali Al-Habsyi berkata:
ماشي كما مجمع المولد يجل الكروب * ذا وقت توبتك يا عاص إذا باتتوب
"Tiada perkumpulan seperti Majelis Maulid yang bisa menghilangkan
kesusahan,  maka ini saatnya jika kalian ingin bertaubat duhai para
pendosa".

Sedangkan apa yang kita lihat dari fenomena yang ada di Indonesia, di
mana rebana menjadi sarana Dakwah yang sedang menjadi Trending Topic.
Jadi pada keseimpulannya cara dakwah ini seperti cara dakwah Wali
Songo di saat Gamelan menjadi alat musik yang digandrungi oleh
masyarakat pada masa itu, maka beliau memanfaatkannya sebagai sarana
dakwah.


*Moh. Nasirul Haq adalah Mahasiswa Fakultas Syariah di Imam Shafie
College, Hadhramaut - Yaman.

blog comments powered by Disqus SocialTwist Tell-a-Friend
Read More

Minggu, 09 Agustus 2015

Ucapan "Sayidina" apakah salah?

21.29.00
"MENGKRITISI MUKTAMIRIN MUHAMMADIYAH 2015."
Oleh : M. Nasirul Haq
Mahasiswa S1 Fakultas Syariah, Imam Shafie College Hadhramaut - Yaman.

Pada acara Muktamar Muhammadiyah di Makasar terjadi keanehan yang
membuat kita Isykal (penuh tanda tanya). Pasalnya mereka
memperdebatkan MC yang mengucapkan lafadz "SAYYIDINA MUHAMMAD", bahkan
beberapa tokoh saat diwawancarai jawabannya kurang memuaskan,
nampaknya mereka tidak terbiasa mengucapkan penghormatan pada Kanjeng
Nabi.

Saya ingin menjelaskan kebolehan mengucapkan lafadz "Sayyidina" pada
Nabi Muhammad SAW, berikut selengkapnya :
Pertama kita harus tau apa arti kalimat Sayyid, dijelaskan dalam kitab
"Ghoytsus Sahabah" karya Sayyidi Syeikh Muhammad Ba'atiyah hal. 39,
dijelaskan bahwa:

"Kata Sayyid jika dimaknai secara mutlak, maka yang dimaksud adalah
Allah. Akan tetapi jika dikehendaki makna lain maka bisa bermakna:
1. Orang yang diikuti di kaumnya.
2. Orang yang banyak pengikutnya.
3. Orang yang mulia di antara relasinya."

Sementara pada hal. 37 disebutkan:
"Orang yang memimpin selainnya dengan berbagai kegiatan dan
menunjukkan tinggi pangkatnya".

Sedangkan di dalam Kitab "Ghoyatul Muna" hal. 32, Sayyidi Syeikh
Muhammad Ba'atiyah menyebutkan: "Sayyid ialah orang yang memimpin
kaumnya / banyak pengikutnya."

Dan masih banyak lagi makna lainnya, dari sini kita mulai bisa
mengerti makna beberapa Hadits yang ada lafadz Sayyid, misalnya:

-ﺍﻧﻬﻤﺎ ﺳﻴﺪﺍ ﺷﺒﺎﺏ ﺍﻫﻞ ﺍﻟﺠﻨﺔ
"Hasan dan Husein adalah pemimpin pemuda Ahli Surga"

-ﺍﻧﺎ ﺳﻴﺪ ﻭﻟﺪ ﺍﺩﻡ ﻳﻮﻡ ﺍﻟﻘﻴﺎﻣﺔ ﻭﻻ ﻓﺨﺮ
"Aku adalah pemimpin anak adam pada hari kiamat"

-ﺍﻧﺎ ﺳﻴﺪ ﺍﻟﻌﺎﻟﻤﻴﻦ
"Aku adalah pemimpin alam"

-ﻗﺎﻝ ﺍﻟﺒﻴﻬﻘﻲ ; ﻗﻮﻣﻮﺍ ﺍﻟﻰ ﺳﻴﺪﻛﻢ
Pada hadits ini Khottobi berkomentar tidak apa-apa mengatakan Sayyid
untuk memuliakan seseorang, akan tetapi makruh jika dikatakan pada
orang tercela.

Sementara dalam Kitab Al-Adzkar karya Imam An-Nawawi dalam catatan
kaki halaman 4 nomer 2, dikatakan bahwa: "Memutlakkan kata Sayyid pada
selain Allah itu boleh".

Dalam kitab Roddul Mukhtar diterangkan: "Disunnahkan mengucapkan
Sayyid karna Ziyadah Ikhbar Waqi' itu menunjukkan tatakrama dan itu
lebih baik dari meninggalkannya".

Lalu selanjutnya jika mereka para Muktamirin bertendensi dengan dua
hadits yaitu:
1. ﻻ ﺗﺴﻴﺪﻭﻧﻲ ﻓﻲ ﺍﻟﺼﻼﺓ
2. ﺍﻧﻤﺎ ﺍﻟﺴﻴﺪ ﺍﻟﻠﻪ
Maka saya akan menjawab dari kitab "Ghoyatul Muna" karya Sayyidi
Syeikh Muhammad Ba'atiyah dijelaskan pada hal. 32:
"Adapun hadits yang mengatakan "Jangan kau men-sayyid-kan aku dalam
Shalat", Hadits ini adalah Hadits yang tidak sah matan dan sanadnya,
adapun matannya gugur menurut Ahli Hadits, sementara matannya lafadz
ﺗﺴﻴﺪﻧﻲ itu tidak benar secara Nahwu karena yang benar lafadznya ﻻ
ﺗﺴﻮﺩﻭﻧﻲ sedangkan Rasulullah SAW adalah paling fasihnya orang orang
Arab."

Sementara dalam Kitab "Maqosid Hasanah" hal. 463 dikatakan:
"Hadits ini merupakan Hadits Maudlu' (palsu), itu tanggapan Al-Hafidz
As-Sakhowi bahwa hadits ini tidak ada asal usulnya. Dan salah dalam
lafadznya."

Sementara Hadits yang kedua akan saya jawab dari kitab "Zadul Labib"
karya Sayyidi Syeikh Muhammad Ba'atiyah juz. 1 hal. 9:
"Adapun Hadits yang diriwayatkan dari Abu Dawud dan Ahmad dari Hadits
Nabi SAW ﺍﻧﻤﺎ ﺍﻟﺴﻴﺪ ﺍﻟﻠﻪ yang dimaksud Siyadah disini adalah Siyadah
secara mutlak, maka fahamilah dan diteliti betul".

Jika anda masih mempertanyakan mengapa dalam Shalawat Ibrahimiyah pada
Tahiyyat ditambah Sayyidina dan pada Tasyahhud tidak ada Sayyidina?
Saya jawab: Mengatakan Sayyidina ini bertujuan memuliakan beliau. Dan
perlu diingat memuliakan dan tatakrama itu lebih baik dari pada
mengikuti perintah seperti Sayyidina Ali yang enggan menghapus kalimat
"Rasulullah" dan berkata: "Aku tak akan menghapusmu selamanya".
Pada saat itu Rasulullah tidak menyalahkan Sayyidina Ali. Begitu juga
Hadits Dlohhak dati Ibnu Abbas, bahwa dulu orang menyebut "Ya
Muhammad", "Ya Abal Qosim", lalu Allah melarang demi memuliakan
beliau.

Sementara jika yang anda permasalahkan dari ayatالله الصمد ; اي بمعنى
سيد maka jawaban saya dari Kitab "Ibanatul Ahkam" juz 1 hal. 346:
"Bahwa kalimat Sayyid itu memiliki dua makna: Yang pertama tiada
satupun yang mengungguli, dialah yang dituju manusia dalam segala
hajat dan keinginan mereka.Sementara makna kedua yaitu yg tidak
memiliki pencernaan yang mana ia tidak makan dan tidak minum".

Sementara dalam Syahadat, Ulama dalam memberikan penghormatan beragam
dan jika tidak ada kata Sayyid-nya pastilah ada kata pujian lain pada
kata sebelum dan sesudahnya, itu terbukti setelah kata Muhammad dalam
Syahadat ada kata pemuluaannya yaitu gelar "Utusan Allah", disanding
dengan lafadz Allah yang sekaligus pencipta alam semesta. Bukankah
Allah tidak akan menyandingkan namanya kecuali dengan kekasihnya?
Dalam Kaidah Fiqih sangat mashur sekali "مراعة الأدب خير من الإتباع".
"Menjaga tatakrama lebih utama dari ittiba' (melaksanakan perintah)".
Sekian dari kami dan kami mohon maaf sebelumnya.

blog comments powered by Disqus SocialTwist Tell-a-Friend
Read More

Minggu, 02 Agustus 2015

Bagaimanakah Hukum "Hormat Bendera"?

22.46.00
Habib Luthfi bin Yahya
berkata :
Merah putih, bukan hanya sekadar warna dari bendera Indonesia. Tetapi memiliki makna yang tinggi bagi kebanggaan dan kewibawaan bangsa. Maka wajib hukumnya untuk dihormati.
”Kalau tidak mau hormat pada Bendera Merah Putih, silahkan enyah dari Indonesia,” tegas Ketua Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al Mutabaroh An Nahdliyyah (JATMAN) Habib Muhammad Luthfiy bin Ali bin Hasyim bin Yahya.

Fanatisme terhadap Indonesia, lanjutnya, mutlak dimiliki oleh segenap umat Islam Indonesia. Jangan hanya janji yang diucapkan tetapi buktikan, kalau jiwa dan raga kita rela dikorbankan untuk Indonesia. ”Sangat aneh kalau hormat bendera merah putih dikatakan musyrik, syirik.
Mereka tidak mengerti makna musyrik dan syirik, artinya perlu memperdalam lagi belajar agama,” ujar Habib.
Harusnya, kata Habib, kita malu pada para pendahulu kita yang telah menegakan Indonesia.Kemerdekaan Indonesia bukanlah hasil dari hadiah. Tetapi melalui perjuangan yang memakan banyak korban. ”Betapa tak terkira jumlahnya syuhada bangsa yang telah mengorbakan jiwa raganya demi kemerdekaan Indonesia,” papar Habib.
Dikala kita sudah merdeka, kita tinggal mengisinya dengan jalan membangun dan membangun bangsa sesuai dengan posisi dan keahlian masing-masing. Kita harus merenung, bagaimana nasib sebutir nasi yang kita makan. Tidak serta merta ada, tetapi banyak tangan-tangan yang terlibat di dalamnya.
======
Habib Mundzir bin Fuad Al Musawa
berkata :
“Menghormati bendera karena saya tahu
Bendera Merah Putih ini
di dukung oleh ratusan ribu Syuhada yang menegakkannya.
HORMATI PARA SYUHADA ITU !!!

Ini Bendera Merah Putih adalah
lambang ratusan ribu Syuhada yang
mana darah mereka dengan
lambang Merah dan lambang
kesucian Putih MERAH PUTIH.
Semoga terangkat dan berkibarnya
bendera merah putih di tiap rumah di
nusantara ini mengawali pula
kebangkitan semangat bangsa ini
untuk mencapai sifat2 luhur dan
mulia, meneruskan semangat Nabi
Muhammad SAW yang terwariskan pada
Ahlul badr dan sahabat beliau SAW,
Lalu berkelanjutan hingga terwariskan
pada para pahlawan Negara ini, dan
semoga terwariskan pula pada kita
semua, semangat Muhammad
Rasulullah SAW.
Yang beliau SAW itu
adalah lambang Rahmat Nya SWT”

=========
Syekh Athiyah Shaqar, mantan ketua majelis Fatwa Al-Azhar Mesir mengatakan bahwa menghormati bendera diperbolehkan karena bukan ibadah.
فتحية العلم بالنشيد أو الإشارة باليد في وضع معين إشعار بالولاء للوطن والالتفاف حول قيادته والحرص على حمايته، وذلك لا يدخل فى مفهوم العبادة له، فليس فيها صلاة ولا ذكر حتى يقال : إنها بدعة أو تقرب إلى غير الله
Artinya: “Menghormati bendera dengan lagu atau isyarat tangan dalam situasi tertentu itu menunjukkan kesetiaan pada tanah air, berkumpul di bawah kepemimpinannya, dan komitmen untuk mendukungnya. Sikap itu tidak masuk dalam pengertian ibadah kepada bendera itu. Penghormatan bendera bukanlah shalat atau dzikir sampai ada yang bilang itu bid’ah atau ibadah pada selain Allah.”
Abdurrahman Syaiban–ketua Majelis Ulama Al-Jazair (جمعية العلماء المسلمين الجزائريين) tahun 1999-2001 — mengatakan bahwa berdiri saat dinyanyikan lagu kebangsaan atau menghormati bendera tidak bertentangan dengan syariah dan aqidah karena tidak ada nash (dalil Quran hadits) yang mengharamkannya.
Abudurrahman Syaiban berkata:
أن القول بعدم جواز الاستماع إلى النشيد الوطني أو الوقوف له أمر غير مؤسس دينيا، وليس هناك أي نص يحرمه أو يكرهه، بل على عكس ذلك، هو أمر محبب، لأن ديننا الحنيف أكد أن ”حب الوطن من الإيمان” والعلم والنشيد والراية وونياشين هي علامات رمزية واصطلاحات حياتية لا علاقة لها بالشرع
Artinya: “Pendapat tidak bolehnya mendengarkan lagu kebangsaan atau berdiri saat dinyanyikan tidak memiliki dasar syariah. Tidak ada dalil apapun yang mengharamkan atau memakruhkannya. Justru sebaliknya: itu perkara yang dianjurkan. Karena, agama Islam menyatakan bahwa “Cinta tanah air itu bagian dari iman.” Sedangkan lagu dan bendera itu adalah tanda dan simbol kehidupan yang tidak ada kaitannya dengan syariah.”
Kesimpulannya menghormat bendera, berdiri di depan bendera, berdiri saat menyanyikan lagu kebangsaan adalah masalah duniawi atau muamalah dan bukan ibadah.
Karena itu, melakukannya bukanlah bid’ah karena bid’ah itu kaitannya dengan ibadah. Ia juga bukan syirik karena syirik itu kaitannya dengan penuhanan bukan penghormatan. Adapun anggapan GOLONGAN TERTENTU yang menganggapnya sebagai bid’ah, maka itu sebuah kesalahan besar dan menunjukkan sikap yang tidak konsisten karena dengan menilai satu hal sebagai bid’ah sesat tapi menilai hal lain yang sama jenisnya sebagai hal yang bukan bid’ah.
Rasulullah berfirman dalam sebuah hadits hasan riwayat Tirmidzi yang artinya: Perkara haram adalah sesuatu yang diharamkan oleh Allah dalam Quran-Nya. Perkara haram adalah sesuatu yang diharamkan Allah dalam Quran-Nya. Adapun perkara yang tidak dibahas oleh Allah, maka itu adalah sesuatu yang dimaafkan.
Dari hadits ini, maka ulama fiqih menjadikannya sebagai dasar dari kaidah fiqih “Bahwa hukum asal dari sesuatu (yang bukan ibadah) adalah boleh kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
facebook.com/HabibMuhammadBinHuseinBinAnisAlHabsyi
blog comments powered by Disqus SocialTwist Tell-a-Friend
Read More

SYAFA’AT RASULULLAH SAW TIDAK DAPAT MENOLONG ORANG YANG DURHAKA KEPADA KEDUA ORANG TUANYA

22.12.00
“Durhaka pada orang tua itu bernasab, turun temurun,
pasti akan dibalas melalui keturunannya kelak…
Seorang yang menghormati ulama’ besar tapi ia
meninggalkan orangtuanya artinya ia mementingkan
sunnah & melalaikan wajib..

Sama seperti orang memakai imamah tapi aurotnya
justru terbuka, sungguh tidak pantas..

Berkata Imam Ahmad bin Hanbal “Orang tua ada
Tiga :
1. yang melahirkan,
2. yang memberi ilmu (guru)
3. yang menikahkan mu dengan anaknya (mertua)”

Pada saat kita kecil, orang tua mencintai kita, bersabar
dengan keadaan dan tangisan kita, menghadapi
berbagai tingkah pola kita, berdoa supaya kita panjang
umur dan sehat sampai dewasa.

Maka wajib bagi kita
bersabar terhadapnya ketika mereka sudah tua dan
memiliki banyak kekurangan.

Syafaat Rosul SAW pun tak dapat menolong orang yang
durhaka kepada orangtuanya dari siksa neraka kecuali
orangtuanya sendiri yang memberi kesempatan
padanya untuk diberi Rahmat oleh Allah.

Memutus silaturrahmi akan mendapat laknat dari
Allah, tertolak seluruh amalnya, tidak akan diterima
doanya walaupun ia seorang yang ‘alim…
Maka sambunglah silaturrahmi sebelum kita mati
dalam keadaan terlaknat & sebelum kita masuk
barzakh dengan amarah Allah selagi ada
kesempatan…”

( Mutiara Nasihat Sulthonul ‘Ilim
Al’Habib Saalim bin Abdullah bin Umar Asy’Syathiry )
http://kiosdakwah.com/blog
Read More

Post Top Ad